Thursday, March 05, 2020

Learning About Keyword Research


It all about words typed into a search box.

Before jumping towards Keyword Research first let us have brief

introduction of what It is all about.

What are Keywords?

abiebdragx Keywords are the words or phrases that Internet users type in search box of a search engine like Google, Bing etc. Searchers make use of keywords to get any information from internet they are looking for. Keyword is a search term that you want to rank for with a certain page. ayungeblog bos So, when people make query for that keyword or phrase in Yahoo or other search engines, they should find that page on your website.

Why are Keywords important?

Catatan Emawdewi One of the things Google looks at when ranking a page is the content on that page. It looks at the words on the page. 301 domain The words and phrases used by you are hints for search engine (like Yahoo, Google); it tells yahoo and other search engines what the page or post is about. So, if you want to make Search engine understand what your page is about, you need to use it fairly often.

But Search engine (Yahoo, Google) isn't the only purpose why keywords are important. blog sederhana You should always focus on the user: on your visitors and potential clients. With SEO you want people to visit your webpage when make a search for a particular keyword. You need to get into the heads of your audience and use the words they use when they are searching.

Types of Keywords

Primary - Primary keywords are the one most important while optimizing the web site. Must repeated in web site often
Secondary - Secondary are the one that are less important and support primary keywords for marketing
sadar wacana Long Tail Keywords - Long tail keywords are combined of 2-3 keywords phrases. Customers are specific while doing search about services and location
What is Keyword Research(KR)?
One of the most essential, high return on going activity in the search advertising era. It is the process of finding what keywords are used by user for making a search of particular piece of information unduh film di google drive.

Why Keyword Research is Important

• Ranking for the right search term can make your webpage or break your webpage.

• When you research your keyword, you can not only know which phrases to target with SEO, but with this can also learn more about your clients as a whole.

• So that you can reach right kind of visitors by using right keyword search

• To help Searchers to find right information

• To search for the Highest possible search made by the customers

Steps to follow

Buku Making a list of all the relevant topics about the business and its requirements
Analyze the competitor's business website for best possible keywords you may find. blog biasa Suggestions for keywords can also be taken from search bar of Google.
Use Google AdWords, Keyword planner tools to fill you buckets with more keywords
Prioritize and categorized your list by segregating Primary, Secondary, Long tail keywords
Find Keyword Variations and Related Terms to Incorporate into Your Content.
ulas teknologi Once you have your keywords defined in this manner you can begin mapping the priority keywords to specific pages that they are most relevant to.
Tools Used
Download film terbaru Google Keyword Planner: - Google Keyword Planner is the best place to begin keyword research
KWFinder: - KWFinder is a long tail keyword research tool with a great interface. It shows you trend, search volume, CPC, and level of difficulty in results.
Moz's Keyword Explorer: - Keyword Explorer offers is a new tool by Moz that adds some extra dimensions to keyword research. In addition to Volume and Difficulty
Google Trends: - In Google Trends you can find recently trending topics to take advantage of instantly.
Emawdewi Keyword Research Is One Of The Most Essential activity In the Search Advertising Era.

Thursday, November 21, 2019

Perubahan Iklim: Pemanasan, Realitas, Persepsi, Penolakan, atau Persiapan?

Perubahan Iklim: Pemanasan, Realitas, Persepsi, Penolakan, atau Persiapan?
Meskipun, dia, tentu saja, bermaksud baik, dan memiliki niat terbaik, Mantan Wakil Presiden Al Gore, memberikan penolakan terhadap perubahan iklim, jalan keluar yang mudah, dengan merujuk pada kondisi ini, sebagai pemanasan global.

Dari perspektif ilmiah, semua data yang tersedia, menunjukkan planet kita secara konsisten memanas, tetapi, bagi mereka yang, entah, tidak percaya, menyangkal, atau menempatkan kepentingan pribadi dan agenda pribadi / politik, di depan kepentingan terbaik dari planet kita, setiap kali ada badai salju, atau badai musim dingin / mantra besar, adalah jauh lebih mudah untuk menunjukkan contoh-contoh ini, sebagai bukti, bahwa kondisinya, tidak ada!

Bukankah akan jauh lebih mudah, jika kita fokus pada perubahan iklim, yang jauh lebih sulit, untuk disangkal? Dengan mengingat hal itu, artikel ini akan berusaha untuk sebentar, mempertimbangkan, memeriksa, meninjau, dan mendiskusikan, perbandingan antara kenyataan, persepsi, penolakan / penyangkalan, dan persiapan yang diperlukan.

1. Realitas: 

Kenyataannya adalah, suhu dunia rata-rata, telah naik, dan terus meningkat, naik! Gletser di kutub bumi, telah mencair, untuk beberapa waktu, dan baru-baru ini, pada tingkat yang mengkhawatirkan! Ketika ini mengisi, hasil akhirnya adalah meningkatkan permukaan laut, meningkatkan kemungkinan banjir di banyak daerah, serta mengubah suhu, komposisi, dll, dari lautan kita, dan mempertaruhkan kehidupan laut, dll.

Dalam beberapa tahun terakhir, sebagian besar perhatikan, badai kita menjadi lebih parah, musim kita berfluktuasi, kita telah menyaksikan (keduanya) pilek, dan panas, badai dan tsunami telah terjadi lebih sering, dan parah, dll. Apakah ini hanya sementara, pola normal, atau, apakah itu, setidaknya sebagian, terkait dengan perilaku manusia, dll? Kami telah menyaksikan tantangan, untuk, baik, udara bersih dan air, yang, mungkin, berpotensi, membahayakan keselamatan generasi mendatang, dalam risiko, dan mengancam keberlanjutan, dll.

2. Persepsi: 

Sementara, hampir, setiap ahli percaya, dengan kuat, perubahan iklim, adalah, baik, nyata, dan ancaman, politisi tertentu, seperti Presiden Donald Trump, mengartikulasikan pesan, penolakan, dan menjelaskan, mereka tidak merasakan alasan untuk mempersiapkan, untuk sesuatu, yang tidak nyata, dan / atau perlu! Kecuali / sampai, kita memfokuskan persepsi kita pada menyikapi realitas yang diperlukan, dengan cara yang bertanggung jawab, alih-alih menggunakannya, sebagai titik politik, pembicaraan, dunia kita dalam bahaya!

3. Penolakan: 

Waspadalah terhadap orang-orang, yang menyatakan, pesan penolakan, bukan perspektif, realitas dan tanggung jawab! Menyangkal kenyataan, tidak mengubahnya, atau membuatnya, pergi!

4. Persiapan: 

Kesepakatan Paris diciptakan, berdasarkan visi, terutama dari dua walikota, mantan walikota Paris, dan Walikota Mike Bloomberg, dari Kota New York. Mereka memilih untuk meneliti realitas, dan memilih untuk bersiap, sebelum terlambat! Dunia, pada akhirnya, menandatangani dokumen yang bertanggung jawab, relevan, responsif, ini, dan, tampaknya, akhirnya, kami fokuskan pada masa depan yang lebih bersih dan berkelanjutan.

Namun, Presiden Amerika Trump, menyatakan dia tahu lebih banyak, dan menyangkal perubahan iklim, memutuskan untuk menarik Amerika Serikat, sebagai salah satu tindakan dan fokus utamanya! Bagi mereka yang memiliki anak, dan cucu, keterlambatan yang tidak perlu, mungkin mahal, dan membahayakan generasi mendatang!

Bangun, Amerika, terlepas dari kepercayaan politik Anda, dan permintaan, kami mulai melakukan pekerjaan yang lebih baik, melindungi lingkungan dunia! Entah kita bertindak segera, atau berisiko akibat berat, konsekuensi yang tidak diinginkan!

Wednesday, November 20, 2019

Melihat Ekonomi di India Beberapa Tahun Belakangan

Melihat Ekonomi di India Beberapa Tahun Belakangan
Sejak beberapa tahun yang lalu. Baru tahun 2014. India mendapatkan Perdana Menteri Baru dalam bentuk Shri Narendra Damodar Modi yang Terhormat.
Harapan yang berlimpah terutama di bidang ekonomi. Di satu sisi berbohong kebijakan ekonomi sederhana rezim saat ini yang hampir bertentangan dengan Doktrin Ekonomi Dr Manmohan Singh, Perdana Menteri yang dulu sekaligus pensiunan ekonominya.

Perdana Menteri saat ini lurus dan pragmatis dalam pendekatannya. Kebijakan dan rencananya mudah dimengerti. Mereka tidak perlu orang Inggris untuk dipahami. Skema dan kebijakan bertemu dengan skeptisisme awal saat mereka mengenakan cap satu kapal menurut kritikus.
Perdana Menteri dengan cepat mengurangi suku bunga tabungan kecil.

Petroleum, yang merupakan masalah tersentralisasi dan merupakan topik sakral untuk tidak disentuh didesentralisasi. Hasilnya adalah lebih banyak kebebasan bagi konglomerat swasta yang pada akhirnya memberikan dividen yang tidak terlalu buruk. "Pradhan Mantri Ujjwala Yojana" dapat dinyatakan sebagai contoh yang baik.

Langkah paling kontroversial muncul dalam pelarangan uang kertas. Awalnya itu melewati banyak skeptisisme tetapi janganlah kita mempertanyakan keberhasilan atau kegagalannya. Memang pada titik tertentu menimbulkan ketakutan untuk meronta-ronta uang tunai yang tidak diinginkan di dompet ke jantung individu dengan kantong dalam.

Perdana Menteri dan timnya tidak kehabisan tenaga. Mereka memulai GST. Pengenalan UU Barang dan Jasa (GST) membuat seluruh penjual dan pengecer berhati-hati dan mungkin tidak ada yang dijual tanpa tagihan yang sesuai.

Semua ini tidak mungkin terjadi tanpa Reserve Bank menganggukkan kepalanya. Tuan Raghuram Rajan memungkinkan hal itu terjadi. Tapi mungkin fakta yang paling ketat berbohong dalam implementasi Skema Prandhan Mantri Jan Dhan.

Dalam skema ini, setiap orang tanpa rekening bank diberikan rekening bank saldo nol yang dilengkapi dengan asuransi inbuilt. Asuransi selanjutnya diberikan setelah pembayaran premi tertentu. Ini tentu saja memberikan rasa aman finansial di antara mereka yang kurang beruntung.
Jadi bagaimana kebijakan ekonomi Perdana Menteri yang terhormat berbeda dari rekan-rekannya yang dulu?

Jawabannya sederhana. Penghapusan tengkulak dan prosedur kompleks sebelum implementasi skema. Setiap skema diberitahukan dan dijelaskan kepada publik secara rinci. Orang-orang biasa tahu bahwa Perdana Menteri mereka dapat diakses oleh mereka. Banyak pujian pasti ditujukan kepada Tuan Arun Jaitley untuk itu. Tidak pernah Strategi Ekonomi lebih jernih dan seseorang harus memberikan kredit kepada orang yang bertanggung jawab untuk itu.
Banyak yang harus dicapai. Kami yakin bahwa di tangan Perdana Menteri India yang Terkemuka dan Menteri Keuangan India yang terhormat, Nirmala Sitharaman yang terhormat, India akan menyentuh angka 5 triliun Dolar.

India sedang mendekati hari kemerdekaannya yang ke-73 dan karena pada kesempatan ini mari kita ucapkan selamat kepada Perdana Menteri India yang Terhormat Bapak Narendra Damodar Modi dan timnya karena menempatkan India sebagai radar dunia. Skeptis mungkin terdengar bahwa ya India telah menjadi Kekuatan Super. Inilah saatnya bagi generasi selanjutnya untuk melihat India yang jauh lebih kuat dan merasa bangga karenanya. Merasa sangat bangga dengan negara Anda. Biarkan Tricolor terbang tinggi selamanya.

Tuesday, January 22, 2019

Menziarahi Pers Sebelum Kaburnya Independensi

Sepintas pembacaan literatur dunia pers di masa lalu begitu menyenangkan, betapa tidak, kita dapat menyelami hal yang sama sekali belum kita ketahui. Dalam telaahnya, Edward C. Smith melakukan sebuah riset atas pers pada masa pra-kemerdekaan hingga pada masa revolusi. Pada masa usia bangsa Indonesia masih begitu belia, semuanya terangkum dalam karyanya: Pembreidelan Pers Di Indonesia. Dalam buku terdiri atas enam bab tersebut, tergambar alur histori dunia pers, pelaku, hingga perlakuan pemerintah pada masa awal memperlakukan pers yang di dalamnya di sajikan data fakta. Sehingga feed back-nya akan terasa dalam menelaah dunia pers saat ini. Hal ini tentu saja bertujuan sebagai gempuran atas gagasan serta konsep nasionalisme hingga mengangkat derajat manusia Indonesia saat itu.

Setibanya Belanda di Indonesia pada 1596, tentu pada masa selanjutnya mereka memerlukan sebuah media komunikasi berupa gazette, penerbitan berkala atau surat kabar. Kemudian pada tahun 1852 terbitlah surat kabar Java Bode yang bertahan sampai tahun 1957, dan dalam rentang waktu yang lama tersebut pemerintah Belanda menerbitkan Drukpersreglement, Undang- Undang Pers, pada tahun 1856. Dan Kabar Bahasa Melajoe terbit pada tahun 1856, surat kabar ini di peruntukkan bagi pembaca yang bukan Belanda, seperti Cina dan diterbitkan oleh Belanda. Hingga masyarakat Cina yang berada di Indonesia pun menerbitkan surat kabar Sin Po (1910) dan Keng Po (1923). Orang Cina dengan gesit dapat menghindari control atas pers hingga nasibnya berada di ujung tanduk pada tahun 1965. Di susul oleh surat kabar milik VOC, Bataviase Nouvelles pada 1744 oelh J.E Jordens, dan hanya bertahan hingga 1746, pun ditutup atas perintah De Heeren Zeventien (Berita Lelang), direktur VOC.  Namun VOC memiliki satu berita mingguan Het Vendu-Nieuws yang di inisiasi oleh L. Dominicus pada tahun 1776-1809. Sehingga dalam kurun waktu yang lama, masyarakat Indonesia, khususnya yang terpelajar, mulai menulisklan ide serta gagasannya pada sebuah media.tempat-tempat di Jawa muali memuculkan pers-pers yang lain, seperti di Batavia dengan nama Nieuw Bataviaasch Handelsblad pada tahun 1806 dan di Surabaya memiliki Soerabaja Courant (1833-1859), kemudian Oostspost yang gulung tikar pada 1865. Pada 1945 Berita Indonesia hadir, harian ini juga di jadikan suatu tendensi atas pecahnya revolusi yang di susul oleh Merdeka dan surat kabar Times yang lahir pada 03 Oktober 1955. Hingga pada asa revolusi, Batavia telah memiliki Duta Masjarakat pada 1953.       

Bukanlah barang baru apabila sebuah gerakan, khususnya partai, haruslah memiliki sebuah media dalam upaya melebarkan sayapnya serta ekspansi atas ide-ide dalam merekrut anggota. Dan hal ini telah terjadi pada masa setelah kemerdekaan. Seperti  harian Pedoman milik partai Sosialis, terbit pada 1948, di usung oleh Rosihan Anwar dalam usahanya untuk menyokong partai Sosialis tersebut. Indonesia Raya terbit pada 1940 sebagai surat kabar yang konsekuen dengan Anti-komunisnya. Partai berhaluan agama seperti Masyumi juga memiliki surat kabar dengan nama Abdi yang pada sat itu memilii sirkulasi hingga 17.000 eksemplar. Dan surat kabar milik partai Komunis Harian Rakyat mulai terbit pada 1951 dan pada 1965 harian itu resmi di tutup. Dan Suluh Indonesia yang berafiliasi dengan Partai Nasionalis Indonesia mulai terbit pada 1953. Surat kabar tersebut menjadi corong atas gerilya mereka yang menuai pro-konta atas pemerintah pada masa setelah kemerdekaan. Dan pada 17 Maret 1950, pemerintah telah membentuk Dewan Pers. Dari titik ini, kemudian banyak jurnalis bahkan redaktur yang keluar masuk jeruji besi, sebut saja Muhtar Lubis yang kerap kali menulis artikel serta oponi yang tajam telah ‘mengganggu’ ketertiban dan stabilitas negara pada saat itu.
Lalu bagaimana soal pers hari ini?, yang dalam masalalunya pun telah di back up oleh partai politik, sebagai media opoisi atau juga penyokong paratai penguasa saat itu. Dan pada hari ini etos pers hingga pilihan rubrikasi seolah-olah terasa monoton. konten yangt sedikit pedas harus melaui tahap ‘sensor’ ketat, kadang selain penghilangan kata, juga substansi atas sebuah tulisan yang bernuansa pedas tidaklah sepenuhnya di tampilkan. Belum lagi iklan bakal calon (balon) yang hampir memakan setengah dari halaman media massa begitu menyita ruang pembaca, dan dari hal demikian maka beberapa indikator atas kurangnya indpendensi juga netralitas pers telah bisa terlihat. Seperti banyaknya berita yang menampilkan sebuah kegiatan partai politik tertentu hingga persoalan pribadi dari personal partai tersebut. Hal ini juga akan bermuara pada permainan pers dengan korporasi yang belakangan juga marak terjadi.Kecenderungan ini memang bukanlah hal baru di dunia media kita. Edward C. Smith setidaknya telah meberikat sedikit view mengeni pers di Indonesia, meskipun kecenderungan atas informasi yang di berikannya pun tidak bia mengelak dari subjektifitas, seperti pembahasan mengenai Muhtar Lubis yang terus mewarnai pada setiap babnya hingga gaya penulisan yang terjebak dalam dalam primernya. 

Kembali bahwa dalam banyak literatur mengenai pers. Pers banyak berjasa dalam masa penjajahan pada saat itu, selain menyatukan animo atas nasionalisme, pers juga berjasa membolisasi pergerakan massa. Lalu pada hari ini pers yang tidak hanya terskat oleh media seperti koran, juga telah memberikan peranan penting dalam mendulang pergerakan massa, bahkan di semua sisi. Media sisoal juga hari ini telah menjadi corong atas pers itu sendiri, meski dalam sifatnya sebagai sub-pers, namun media sosial telah  di asumsikan sebagai alat penunjang pers dominan itu sendiri - belakangan. Hingga berimbas pada penurunan angka penjualan koran cetak seperti sedia kala. Hal ini sudah barang tentu di topang oleh media sosial yang, hampir penduduk bumi memiliki akses untuk menuju kesana. Dan jelas pola kebudayaan membaca kita bergeser, dari kertas menuju digital. 

Membayangkan netralitas pers saat ini sepertinya terlalu ilusionis. Hoax mudah di produksi, adu doma mudah dilakukan dan perpecahan mulai menjelang. Pers yang mengambil sikap netral adalah pers heroik dan sepertinya hanya dalam ranah imajiner. Dari pembacaan atas buku Pembreidelan Pers Di Indonesia setidaknya bisa menjadi pisau pembacaa pers hari ini. Banyak literatur yang berbicara tentangnya, namun buku tersebut dapat menjadi satu dari sekian banyak refrensi penulisan mengenai pers yang valid. Sekali lagi, objektitas pada hari ini menjadi barang termahal. Kita berbicara, pers itu milik siapa maka kita bisa menebak out put pers itu berlari kemana.  

pict by; Google 

Tuesday, January 01, 2019

Buku & Nuklir; Bibliokas Dalam Sirkuit Sejarah


Beberapa hal yang sedikit menggelikan terjadi belum lama ini, razia buku atau sweeping atas buku-buku yang di lakukan oleh beberapa orang berseragam, pada Rabu 26 Deember 2018 yang mafhum kita asumsikan sebagai seorang yang  ‘gagah’. Dengan dalih yang cukup mengesankan, bahwa buku di anggap sebagai acaman atas stabilitas sebuah negara, seperti buku yang berbau Marxisme-Leninisme dan Mao-tsung atau lebih tepatnya adalah kominisme, maka tindakan selevel sweeping pun di galakan. Apa sebenarnya yang terjadi di negeri dengan euforia bahwa bangsanya ingin sejajar dengan bangsa lain di negara-negara maju. Lebih dari itu bahwa animo razia telah begitu menggebu dalam mengamankan buku-buku yang kiranya dapat ‘merusak’ generasi bangsa. Begitupula dengan undang-undang yang memfatwakan atas kecerdasan bangsa, terkesan kontradiktif dengan apa yang tejradi belakangan. 

Kita tentunya mafhum atau paling tidak hati nurani kita berkata ‘itu prosedur atasan’. Memang hal demikian bukan hanya terjadi pada era dimana sebuah bangsa di dorong untuk maju dengan menggalan program literasi pada setiap lininya, sekali lagi meskipun terjadi kontradiksi, kita abaikan.

Kita flash back sebentar, bahwa pada UU No.4/PNPS/1963 yang dulu di njadikan tendensi atas sebuah pelarangan buku di Indonesia telah menuai sukses besar. Meski pun UU Pers No. 40/1999 juga menjadi komparasi atas UU63 Tersebut. Di pucuk tahun 2009, pelarangan buku pun terjadi, 5 buku di larang beredar, dengan asumsi yang sama – berbahaya. Pertama, Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto  besutan John Rosa. Kedua, Suara Gereja Bagi Umat Tertindas: Penderitaan Tetesan Darah dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan di Papua Barat Harus Diakhiri karya Socrates Sofyan Yoman. Ketiga, Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senya Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965 karya Rhoma Dwi Aria dan Muhidin M Dahlan. Keempat, Enam Jalan Menuju Tuhan karya Darmawan. Kelima, Mengungkap Misteri Keberagaman Agama karya Syahrudin Ahmad. Dari kelima buku tersebut, entah apa yang di pikirkan oleh mereka sebagai eksekutor sweeping atau dalang dari hal itu. Yang jelas bahwa kemajuan peradaban sebuah bangsa di manapun di dunia ini tidak bisa menafikan satu instrumen pengetahuan penting bernama buku. 

Kemudian di Indonesia, pada masa Orde Baru juga menerapkan kontrol atas pers yang point of view-nya meliputi lima hal; 1. Kontrol kolektif dan preventif terhadap kepemilikan institusi media. 2. Kontrol terhadap individu dan kelompok pelaku profesional seperti wartawan atau penulis melalui mekanisme dan reguilasi yang ketat. 3. Kontrol terhadap produk teks yang di ciptakan, baik pemberitaan ataupun buku. 4. Kontrol terhadap sumber daya, seperti halnya monopoli kertas oleh penguasa. 5. Kontrol terhadap akses ke pers, berupa pencekalan tokoh-tokoh oposan tertentu yang tidak di tampilkan dalam pemberitaan pers.    

Tidak kalah menariknya pada masa lalu, juga terdapat bibliokas, seseorang atau kelompok yang berhasrat menhancurkan buku dalam skala kecil atau besar. Seperti penghancuran buku yang terjadi di Sumeria sekitar 5.300 tahun lampau, yang disebabkan oleh perang yang berujung pada pembakaran. Seperti halnya perpustakaan yang tak luput dari kobaran api, mengingat bahwa perpustakaan adalah sebuah kuil ingatan dari sebuah bangsa. Kemudian dalam Romawi kuno terdapat istilah damnatio memoriae yaitu penjatuhan hukuman atas ingatan yang di golongkan tercela atau mengganggu stabilitas kerajaan. Meskipunjuga terdapat genizah atau tempat menyembunyikan, dan biasanya kata ini di gunakan untuk menyimpan ingatan pada masa lalu oleh orang-orang Roma pada masa lalu. 

Penghancuran buku mafhum terjadi, baik buku-buku milik umum atau pribadi, dan penghancuran tersebut tentunya melalui beberapa fase melankolik seperti; pembatasan, peminggiran, penyensoran, penjarahan, dan yang berujung pada pembakaran. Namun hal demikian tidaklah tidak mungkin, apabila fenomena ini di benturkan dengan sebuah kepentingan – politis misalnya. Fenomena ini juga dikenal sebagai akulturasi ataupun transkulturasi, saat sebuah kebudayaan memaksakan dirinya pada kebudayaan laindengan cara mencangkokkan ingatan-ingatan baru pada masyarakatnya. Dinukil dari Umberto Eco, bahwa terdapat tiga bentuk penghancuran buku di dunia ini. Pertama, biblioklas fundamentalis, yaitu mereka yang tidak membenci buku sebagai objek, mereka takut akan isinya dan tidak ingin orang lain membacanya. Kedua, bibliosida sebab keabadian yaitu buku yang tidak di rawat dan mebiarkan buku rusak begitu saja tanpa ada yang menyentuhnya, hal ini pernah terjadi di Italia. Ketiga, bibliosida sebab kepentingan, yaitu dengan merusak buku-buku untuk menjualnya per-lembar atau per-potong dengan tujuan laba yang lebih besar. 


Mungkin buku bukan dianggap sebagai media pencerdasan kehidupan bangsa, melainkan sebagai elemen potensial yang mengganggu ketertiban umum.


Dengan berpijak dari kata bahaya, yang dalam term di definisikan sebagai sesuatu yang (mungkin) mendatangkan kecelakaan (becana, kesengsaraan, kerugian). Maka kita tarik kesimpulan sementara bahwa buku yang di anggap berbahaya maka sama halnya dengan nuklir yang selama ini menjadi pusat perhatian dunia sebab dampaknya. Sehingga dalam membendung upaya pembuatajn nuklir beredar di tempat lain maka di lakukan upaya denuklirisasi dengan jalan diplomatis antar negara yang memiliki kepentingan. Pun dengan buku yang selama ini kerap kali di sweeping dengan sebab yang setara. Isu komunisme begitu erat kaitannya dengan sweeping  yang di lakukan oleh bibliokas dengan dalih-dalih yang sama. Dan tak syak lagi penulisnya pun tidak hanya mendapatkan stigma semata, lebih dari itu para penulis sejarah yang tak sejalan dengan ideologi pemerintah di penjara atau bahka di deportasi.    

Menjadi sesuatu yang janggal saat membicarakan kebebasan bereksperasi namun di dalamnya terdapat ‘sensor’, meskipun dalam medium penunjang kemajuan sebuah bangsa. Kemajuan sebuah peradaban tanpa di tunjang oleh sebuiah bacaan adalah hampa.  Dan menurut Dimam Abror, kedidaksepakatan seseorang terhadap sebuah buku semestinya dilawan dengan menuliskan buku tandingan.          

pict by; google

Monday, December 03, 2018

Dibungkam di Negeri Sendiri

Aku pemuda pesisir dari kampung Sedapmata yang saat ini tak lagi sedap dilihat mata.  Jangan heran jika kalian berkunjung ke kampungku, kami hanya memiliki satu musim yaitu musim mendung. Tidak akan pernah kalian temui panas terik matahari. Sepanjang hari langit gelap tertutup asap hitam mengepul.

Aku dan warga lainnya sudah kehabisan sabar. Asap PLTU itu semakin hari kian mengganggu, tak sedikit dari kami yang terkena gangguan pernapasan. Para petani harus rela pengap menutup hidungnya dengan kain. Sudah puluhan ibu mengantarkan anaknya ke dokter karena terserang ispa.
Padi-padi yang kami tanam tak sesehat dulu karena udaranya yang tercemar. Daun padi tidak bisa tumbuh dengan sehat, udara sudah tercemar debu PLTU. Tanah kami pun tak subur lagi, karena air juga sudah sedikit bahkan tercemar. Laut kami pun kena imbas dari pembuangan limbah air panas.
Nelayan tak lagi sejahtera karena kekayaan biota laut menghilang. Sebelum adanya PLTU, nelayan mudah mencari penghidupan. Tetapi hari ini, ia harus berlayar jauh dengan penuh resiko hanya untuk bisa makan satu hari. Pabrik ini jelas menganggu.

Minggu ini aku mendapat kabar yang tidak kalah menyebalkan. Satu PLTU saja sudah mengganggu, mereka justru ingin membuat satu lagi. Alasannya kebutuhan listrik sudah mendesak. Bisa dibayangkan kampungku akan menjadi seperti apa. Maka kami sepakat untuk memberikan peringatan kepada mereka untuk tidak membuat PLTU lagi.

Melawan Kerusakan dengan Kebajikan
Malam hari aku ikut kumpul dengan para orang tua dan sesepuh desa untuk membicarakan bagaimana teknis penolakaan yang akan dilakukan. Warga yang mayoritas nelayan dan petani bersemangat hadir, kerugian yang mereka sama-sama alami membuat hati tergerak. Heran hanya aku pemuda seorang diri, pemuda lain entah kemana?

Hampir semua pemuda tidak begitu peka dengan kesulitan orang tuanya, ia hanya enak sendiri minta uang kepada orang tua untuk beli barang yang sebenarnya tidak mereka butuhkan. Pemuda yang lupa bagaimana orang tuanya bisa memberikan ia makan sedari kecil. Pemuda semacam ini yang akhirnya justru dengan mudah menjual sawah orang tuanya.

Pak Bagio membuka pembicaraan, “kita semua sama-sama merasakan dampak buruk dari pabrik, maka isu akan dibangunnya pabrik kedua harus kita tolak bersama.”
“Satu pabrik saja sudah susah, kita harus memaksa mereka untuk membatalkan pembangun pabrik kedua!” sahut Pak Badi bersemangat. Aku melihat mata Pak Badi seakan berapi-api, ini sudah jelas perkara besar. Perawakannya yang besar cocok dengan jiwanya yang tidak kenal takut.
“Ini adalah sawah kita, tanah, air dan udara kita sendiri. Ini bagian rumah kita. Siapa saja yang merusak rumah seseorang, ia harus diusir keluar.” Suara Pak Jumadi dengan gaya orasinya menggema ke udara. Semua orang terbakar semangat. Menurut cerita yang kudengar, Pak Jumadi muda sering berpuisi. Kini ia sering ditunjuk sebagai juru bicara di berebagai macam acara.

Suasana teras rumah Pak Bagio menjadi memanas. Semangatku tak mau kalah, “Kita yang punya rumah lebih tahu apa yang terbaik untuk kita, mereka pendatang yang tak sopan. Seenaknya merusak rumah kita dengan dalih kesejahteraan bersama. Padahal mereka tak pernah ikut merasakan hidup dengan kita.”

Pak Bagio yang menjadi ketua pada malam hari itu semakin bersemangat juga. Tapi sebagai ketua ia harus bisa merumuskan cara yang bijak dalam aksi penolakan.
“Kenapa kita harus menjadi bijak, toh mereka saja seenaknya. Kita hancurkan saja pabrik itu!” Emosi Pak Badi sudah memuncak. Kini kumisnya semakin meruncing.
Kopi sudah dingin, ubi rebus pun hanya satu dua orang yang memakan. Permasalahan sudah sangat gawat, ini masalah kedaulatan rakyat.
“Bagaimana ini Pak Kyai?” tanya Pak Bagio.
“Manusia dipercaya oleh Allah untuk menjadi khalifah di muka bumi ini. Tugasnya antara lain adalah menjaga kelestarian bumi. Dampak dari PLTU itu sudah kita rasakan bersama, alam yang harus kita jaga sudah tercemar. Maka kita harus menjaga kelestarian alam ini dengan menolak PLTU 2 itu” Jawab Pak Kyai penuh kesungguhan.
“Tapi saya setuju dengan Pak Bagio, kita sebagai manusia beradab hendaknya menggunakan cara yang bijak. Kemungkaran tidak tepat dilawan dengan kemungkaran lainnya, itu hanya akan membuat kondisi semakin kacau.” Lanjut Pak Kyai.

Semua setuju dengan saran Pak Bagio yang dikuatkan oleh pak kyai. Jangan sampai emosi justru menggagalkan tugas mulia ini. Kemudian Pak Bagio mengatur strategi, semua sepakat. Aksi akan dilaksankan hari minggu nanti. Rapat selesai dengan keputusan menolak PLTU 2.

Dibungkam di Negeri Sendiri
Keesokan harinya persiapan semakin dimatangkan. Berbagai atribut disiapkan, mulai dari kata-kata penolakan PLTU 2 yang ditulis di atas kain seadanya, sampai bendera negara. Tidak hanya bapak-bapak saja, ibu-ibu tidak kalah semangatnya.

Semua mendapatkan tugasnya masing-masing, sesuai apa yang diarahkan oleh Pak Bagio. Aku mendapatkan tugas membuatkan kalimat yang tepat dan penuh semangat untuk penolakan PLTU 2. Sampai saat ini aku masih heran, kenapa para pemuda kampung ini kalah semangat.

Persiapan telah selesai, sisa satu hari sebelum aksi dimulai. Hari semakin larut, semua pulang dan besok akan ada do’a bersama untuk kelancaran aksi hari Minggu nanti. Malam ini aku tidur dengan perasaan yang luar biasa, mungkin ini yang dirasakan bangsa Indonesia dulu ketika hendak merebut kemerdekaan dari tangan penjajah.

Dini hari aku terbangun dari tidur, keributan terjadi di samping rumah. Terdengar suara teriakan seorang ibu dan tangisan anaknya. Aku segera keluar melihat apa yang terjadi. Keributan itu berasal dari rumah Pak Sulaiman, tetangga yang lain pun ikut keluar penasaran.
Istri dan anak Pak Sulaiman menangis melihat tulang punggung keluarganya itu ditarik paksa oleh petugas kepolisian.

“Apa salah saya pak?” kata Pak Sulaiman heran dan menolak polisi menangkapnya, ia merasa tidak pernah berbuat kesalahan negara satu pun.
“Ini surat penangkapannya, kita jelaskan saja di kantor.” Jawab salah satu aparat dengan nada emosi.
“Tidak bisa seperti itu pak, kita harus tahu dulu apa duduk perkaranya?” Tanya Pak Bagio yang entah kapan ia datang. Para tetangga yang lain semakin banyak berdatangan, aku memilih untuk mendekati Ahmad, anak Pak Sulaiman. Aku melihat ketakutan pada matanya.
“Kita jelaskan saja di kantor pak?” aparat itu tetap dengan jawaban yang sama.
Tidak ada warga yang bisa melawan aparat, salah bertindak sedikit saja akan tambah rumit suasana. Kemudian Pak Sulaiman mendekati Pak Bagio, dengan air mata ia menitipkan istri dan anak semata wayangnya.
“Kamu tidak sendiri, sampai kapan pun kita semua akan memperjuangkan keadilan. Sampai kau bebas, kita akan terus berjuang.” Jawab Pak Bagio menenangkan.

Aku mendekati Pak Sulaiman, “Aku akan jaga Ahmad sampai bapak kembali.” Kataku, ia tersenyum. Kemudian kami semua hanya bisa menyaksikan Pak Sulaiman pergi dengan mobil aparat dengan suara sirine nya yang selalu membuat takut ketika warga melihatnya.

Pak Bagio mengumpulkan warga yang lain untuk menemani ke kantor polisi.
“Hari Minggu nanti aksi tetap kita adakan, kau tambah lagi tulisan tentang pembebasan Pak Sulaiman, kau pilihlah kalimat yang tepat. Satu lagi, jaga Ahmad, perasaannya pasti sedang terguncang”. Kata Pak Bagio sebelum ia pergi

Pak Bagio dengan sebagian warga pergi ke kantor polisi. Warga yang sudah keluar rumah tidak kembali pulang, mereka mencoba untuk tetap menguatkan mental istri Pak Sulaiman. Aku tetap terfokus kepada Ahmad, “tenang mad, kita akan berjuang dengan cara apa pun sampai bapakmu kembali,” kataku dan Ahmad masih diam saja.

Kemudian esoknya baru aku tahu bahwa Pak Sulaiman dituduh memasang bendera negara secara terbalik. Padahal kemarin sore aku dan warga lainnya tahu bahwa bendera itu terpasang dengan benar di depan rumahnya. Meski ia hanya lulusan SD, ia faham betul dengan bendera negaranya, mimimal satu tahun sekali bendera itu terpasang gagah di depan rumahnya. Ini jelas kriminalisasi, aku semakin semangat untuk berjuang.

Ahmad, kita akan bebaskan ayahmu, pahlawan agraria yang dibungkam di negeri sendiri dengan tuduhan yang lucu. Cerita belum selesai. Kita akan katakan kepada dunia tentang ketidakadilan ini.

Friday, November 30, 2018

Caleg; Foto ‘Editan’ & Kinerja ‘Borongan’


Wajah polesan hasil besutan corel draw atau photo shop, baliho kecil menyeka pohon hingga tebaran janji yang berhamburan adalah realita yang sedangf kita hadapai saat ini. Menjelang pesta demokrasi yangt akan di lakukan pada bulan April 2019 nanti, dari pemilihan presiden hingga pemilihan dewan legislatif. Sudah barangtentu meraka yang di usung oleh partai atau dengan mencalonkan dirinya sudah mempersiapkan segala sesuatunya dengan matang, laiknya tuan rumah hajat. 

Dokumen; lelakibugis.net
Mendatangi warga dengan suka cita serta (blusukan) seolah menjadi trend yang tak terelakkan pada gelombang politik hari ini, media kampanye kreatif jika dikatakan, atau mungkin  dengan menyambangi berbagai komunitas, pesta adat atau acra yang berbasis kerakyatan, meski itu tak ada sangkutpaut dengan personal calon tersebut. Dan tentu ini telah menjadi hal lazim juga, meskipun iklim politik saat ini begitu menghawatirkan, akantetapi semuanya tertebus dengan poster calon dengan wajah editannya, dengan janji-janji manisnya dan tentu saja dengan visi-misinya yang di jadikan brand ambassador dalam rekam jejak kampanye tersebut. 

Dengan modal yang disokong oleh beberapa kolega juga beberapa perusahaan (mungkin), menjadikan mereka, para calon tersebut seolah berlomba dalam meraih simpati konstituen, cost politic mungkin suatu saat akan tergganti pikirnya, meskipun bidikan lensa KPK sudah seperti demonologi bagi setiap koruptor sebelumnya. Dan hari ini mereka juga berlomba, semoga tidak terjadi apa-apa.

Kembali bahwa apa yang sejak awal dilakukan oleh para kontestan politikus tersebut sangat jauh dari kata logis, etik dan estetika. Pasalnya, dengan berserakanya baliho yang biasa kita jumpai di pinggir jalanj, bajkan gang pedesaan telah menjadi satu dari sekian banyaknya indikator bawa mereka belum mengindahkan apa itui tata kelola keindahan lingkungan – apalagi menjaganya. Kemudian dengan memasang baliho pada pohon dengan cara di paku atau dengan mengaitkan kawan pada batang pohon tersebut menjadikan pohon tersebut terhambat pertubuhannya, ini belum lagi ditambah dengan karat yang di hasilakan oleh paku atau kawat tersebut.

Berangkat dari hal sepele tersebut, bukankah para calon tersebut hanya taken granted akan norma sisial yang non-tertulis, belum memahami objek dan subjek alam dalam kehidupan, dan yang lebih krusial lagi ialah para calon tersebut tidak membekali para simpatian dadakan tersebut dengan pemahaman ekologis. Masa bodo, memang itulah yang terjadi, dan pabila di ingatkan melalui kritik, tentu membosankan sebab pada dasarnya mereka politus bukan negarwan. “Politik sebagai sebuah kultuir, perannya dalam sejarah adalah juga melakukan semacam pemberadaban pada publik yang menjadi konstituen, menjadi subjek primer kinerjanya” tulis Radar Panca Dahana. Dan kita terkadang kecewa dengan apa yang dilakukan oleh para anggota dewan kita belakangan ini, bahkan konyol jika di katakan. Kita tentu bebas mengintepretasikan bahwa apa yang di tampilkan di layar kaca atau di tulis oleh wartawan itu hanya sebagai framing atas beberapa kelompok, atau bisajadi lawan politiknya sehingga media getol mengcounter pemirsa-pembaca dalam membangun image bahwa kinerja dewan perwakilan kita kurang bermutu, jika tidak mengatakn bobrok.  

Maka tidak heran apabila ketika sidang mereka banyak yang terlelap tidur di ruang rapat, berebutan proyek hingga membuat laporan editan serta proposal-fikif.

Namun begitulah faktanya, sentilan serta ide konyol yang sering di tampilan dalam lini massa menjadikan kepercayaan akan dewan perwakilan yang ‘dianggap’ bisa mewakili suara rakyat secara gradual mengalami degradasi. Semenjak korupsi hingga skandal perselingkuhan yang kerapkali menjadi hadline dalam berita, maka image akan kebobrokan demi kehancuran telah sudah nampak, kong-kalikong dalam mengamankan status quo setiap individu sudah menjadi hal yang mafhum, mengapa? Mereka yang di usung oleh partai hanya menjadi alat partai pengusungnya, sehingga hanya sami’na wa ato’na pada partai kemudian dalam sikap serta pengambilan kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Dan jika demikian mereka para calon hari ini bisa dikatakan hanya boneka dari partai tersebut, setelah bargaining terjadi di lapisan atas. Yah beginilah iklim politik kita. 

Kotak pemilu seolah berevolusi menjadi kotak pandora.