Wajah polesan hasil besutan corel draw atau photo shop, baliho kecil menyeka
pohon hingga tebaran janji yang berhamburan adalah realita yang sedangf kita
hadapai saat ini. Menjelang pesta demokrasi yangt akan di lakukan pada bulan
April 2019 nanti, dari pemilihan presiden hingga pemilihan dewan legislatif. Sudah
barangtentu meraka yang di usung oleh partai atau dengan mencalonkan dirinya
sudah mempersiapkan segala sesuatunya dengan matang, laiknya tuan rumah hajat.
![]() |
Dokumen; lelakibugis.net |
Mendatangi warga dengan suka cita serta (blusukan) seolah menjadi trend yang
tak terelakkan pada gelombang politik hari ini, media kampanye kreatif jika
dikatakan, atau mungkin dengan
menyambangi berbagai komunitas, pesta adat atau acra yang berbasis kerakyatan,
meski itu tak ada sangkutpaut dengan personal calon tersebut. Dan tentu ini telah
menjadi hal lazim juga, meskipun iklim politik saat ini begitu menghawatirkan,
akantetapi semuanya tertebus dengan poster calon dengan wajah editannya, dengan
janji-janji manisnya dan tentu saja dengan visi-misinya yang di jadikan brand
ambassador dalam rekam jejak kampanye tersebut.
Dengan modal yang disokong oleh beberapa kolega juga beberapa perusahaan (mungkin),
menjadikan mereka, para calon tersebut seolah berlomba dalam meraih simpati
konstituen, cost politic mungkin suatu saat akan tergganti pikirnya,
meskipun bidikan lensa KPK sudah seperti demonologi bagi setiap koruptor
sebelumnya. Dan hari ini mereka juga berlomba, semoga tidak terjadi apa-apa.
Kembali bahwa apa yang sejak awal dilakukan oleh para kontestan politikus
tersebut sangat jauh dari kata logis, etik dan estetika. Pasalnya, dengan
berserakanya baliho yang biasa kita jumpai di pinggir jalanj, bajkan gang
pedesaan telah menjadi satu dari sekian banyaknya indikator bawa mereka belum
mengindahkan apa itui tata kelola keindahan lingkungan – apalagi menjaganya. Kemudian
dengan memasang baliho pada pohon dengan cara di paku atau dengan mengaitkan
kawan pada batang pohon tersebut menjadikan pohon tersebut terhambat
pertubuhannya, ini belum lagi ditambah dengan karat yang di hasilakan oleh paku
atau kawat tersebut.
Berangkat dari hal sepele tersebut, bukankah para calon tersebut hanya taken
granted akan norma sisial yang non-tertulis, belum memahami objek dan
subjek alam dalam kehidupan, dan yang lebih krusial lagi ialah para calon
tersebut tidak membekali para simpatian dadakan tersebut dengan pemahaman
ekologis. Masa bodo, memang itulah yang terjadi, dan pabila di ingatkan melalui
kritik, tentu membosankan sebab pada dasarnya mereka politus bukan negarwan. “Politik
sebagai sebuah kultuir, perannya dalam sejarah adalah juga melakukan semacam
pemberadaban pada publik yang menjadi konstituen, menjadi subjek primer
kinerjanya” tulis Radar Panca Dahana. Dan kita terkadang kecewa dengan apa yang
dilakukan oleh para anggota dewan kita belakangan ini, bahkan konyol jika di katakan.
Kita tentu bebas mengintepretasikan bahwa apa yang di tampilkan di layar kaca
atau di tulis oleh wartawan itu hanya sebagai framing atas beberapa kelompok, atau
bisajadi lawan politiknya sehingga media getol mengcounter pemirsa-pembaca
dalam membangun image bahwa kinerja dewan perwakilan kita kurang bermutu, jika
tidak mengatakn bobrok.
Maka tidak heran apabila ketika sidang mereka banyak yang terlelap tidur di ruang rapat, berebutan proyek hingga membuat laporan editan serta proposal-fikif.
Namun begitulah faktanya, sentilan serta ide konyol yang sering di tampilan
dalam lini massa menjadikan kepercayaan akan dewan perwakilan yang ‘dianggap’
bisa mewakili suara rakyat secara gradual mengalami degradasi. Semenjak korupsi
hingga skandal perselingkuhan yang kerapkali menjadi hadline dalam
berita, maka image akan kebobrokan demi kehancuran telah sudah nampak,
kong-kalikong dalam mengamankan status quo setiap individu sudah menjadi hal
yang mafhum, mengapa? Mereka yang di usung oleh partai hanya menjadi alat
partai pengusungnya, sehingga hanya sami’na wa ato’na pada partai kemudian
dalam sikap serta pengambilan kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang
banyak. Dan jika demikian mereka para calon hari ini bisa dikatakan hanya
boneka dari partai tersebut, setelah bargaining terjadi di lapisan atas.
Yah beginilah iklim politik kita.
Kotak pemilu seolah berevolusi menjadi kotak pandora.
No comments:
Post a Comment