Showing posts with label Refleksi. Show all posts
Showing posts with label Refleksi. Show all posts

Tuesday, January 22, 2019

Menziarahi Pers Sebelum Kaburnya Independensi

Sepintas pembacaan literatur dunia pers di masa lalu begitu menyenangkan, betapa tidak, kita dapat menyelami hal yang sama sekali belum kita ketahui. Dalam telaahnya, Edward C. Smith melakukan sebuah riset atas pers pada masa pra-kemerdekaan hingga pada masa revolusi. Pada masa usia bangsa Indonesia masih begitu belia, semuanya terangkum dalam karyanya: Pembreidelan Pers Di Indonesia. Dalam buku terdiri atas enam bab tersebut, tergambar alur histori dunia pers, pelaku, hingga perlakuan pemerintah pada masa awal memperlakukan pers yang di dalamnya di sajikan data fakta. Sehingga feed back-nya akan terasa dalam menelaah dunia pers saat ini. Hal ini tentu saja bertujuan sebagai gempuran atas gagasan serta konsep nasionalisme hingga mengangkat derajat manusia Indonesia saat itu.

Setibanya Belanda di Indonesia pada 1596, tentu pada masa selanjutnya mereka memerlukan sebuah media komunikasi berupa gazette, penerbitan berkala atau surat kabar. Kemudian pada tahun 1852 terbitlah surat kabar Java Bode yang bertahan sampai tahun 1957, dan dalam rentang waktu yang lama tersebut pemerintah Belanda menerbitkan Drukpersreglement, Undang- Undang Pers, pada tahun 1856. Dan Kabar Bahasa Melajoe terbit pada tahun 1856, surat kabar ini di peruntukkan bagi pembaca yang bukan Belanda, seperti Cina dan diterbitkan oleh Belanda. Hingga masyarakat Cina yang berada di Indonesia pun menerbitkan surat kabar Sin Po (1910) dan Keng Po (1923). Orang Cina dengan gesit dapat menghindari control atas pers hingga nasibnya berada di ujung tanduk pada tahun 1965. Di susul oleh surat kabar milik VOC, Bataviase Nouvelles pada 1744 oelh J.E Jordens, dan hanya bertahan hingga 1746, pun ditutup atas perintah De Heeren Zeventien (Berita Lelang), direktur VOC.  Namun VOC memiliki satu berita mingguan Het Vendu-Nieuws yang di inisiasi oleh L. Dominicus pada tahun 1776-1809. Sehingga dalam kurun waktu yang lama, masyarakat Indonesia, khususnya yang terpelajar, mulai menulisklan ide serta gagasannya pada sebuah media.tempat-tempat di Jawa muali memuculkan pers-pers yang lain, seperti di Batavia dengan nama Nieuw Bataviaasch Handelsblad pada tahun 1806 dan di Surabaya memiliki Soerabaja Courant (1833-1859), kemudian Oostspost yang gulung tikar pada 1865. Pada 1945 Berita Indonesia hadir, harian ini juga di jadikan suatu tendensi atas pecahnya revolusi yang di susul oleh Merdeka dan surat kabar Times yang lahir pada 03 Oktober 1955. Hingga pada asa revolusi, Batavia telah memiliki Duta Masjarakat pada 1953.       

Bukanlah barang baru apabila sebuah gerakan, khususnya partai, haruslah memiliki sebuah media dalam upaya melebarkan sayapnya serta ekspansi atas ide-ide dalam merekrut anggota. Dan hal ini telah terjadi pada masa setelah kemerdekaan. Seperti  harian Pedoman milik partai Sosialis, terbit pada 1948, di usung oleh Rosihan Anwar dalam usahanya untuk menyokong partai Sosialis tersebut. Indonesia Raya terbit pada 1940 sebagai surat kabar yang konsekuen dengan Anti-komunisnya. Partai berhaluan agama seperti Masyumi juga memiliki surat kabar dengan nama Abdi yang pada sat itu memilii sirkulasi hingga 17.000 eksemplar. Dan surat kabar milik partai Komunis Harian Rakyat mulai terbit pada 1951 dan pada 1965 harian itu resmi di tutup. Dan Suluh Indonesia yang berafiliasi dengan Partai Nasionalis Indonesia mulai terbit pada 1953. Surat kabar tersebut menjadi corong atas gerilya mereka yang menuai pro-konta atas pemerintah pada masa setelah kemerdekaan. Dan pada 17 Maret 1950, pemerintah telah membentuk Dewan Pers. Dari titik ini, kemudian banyak jurnalis bahkan redaktur yang keluar masuk jeruji besi, sebut saja Muhtar Lubis yang kerap kali menulis artikel serta oponi yang tajam telah ‘mengganggu’ ketertiban dan stabilitas negara pada saat itu.
Lalu bagaimana soal pers hari ini?, yang dalam masalalunya pun telah di back up oleh partai politik, sebagai media opoisi atau juga penyokong paratai penguasa saat itu. Dan pada hari ini etos pers hingga pilihan rubrikasi seolah-olah terasa monoton. konten yangt sedikit pedas harus melaui tahap ‘sensor’ ketat, kadang selain penghilangan kata, juga substansi atas sebuah tulisan yang bernuansa pedas tidaklah sepenuhnya di tampilkan. Belum lagi iklan bakal calon (balon) yang hampir memakan setengah dari halaman media massa begitu menyita ruang pembaca, dan dari hal demikian maka beberapa indikator atas kurangnya indpendensi juga netralitas pers telah bisa terlihat. Seperti banyaknya berita yang menampilkan sebuah kegiatan partai politik tertentu hingga persoalan pribadi dari personal partai tersebut. Hal ini juga akan bermuara pada permainan pers dengan korporasi yang belakangan juga marak terjadi.Kecenderungan ini memang bukanlah hal baru di dunia media kita. Edward C. Smith setidaknya telah meberikat sedikit view mengeni pers di Indonesia, meskipun kecenderungan atas informasi yang di berikannya pun tidak bia mengelak dari subjektifitas, seperti pembahasan mengenai Muhtar Lubis yang terus mewarnai pada setiap babnya hingga gaya penulisan yang terjebak dalam dalam primernya. 

Kembali bahwa dalam banyak literatur mengenai pers. Pers banyak berjasa dalam masa penjajahan pada saat itu, selain menyatukan animo atas nasionalisme, pers juga berjasa membolisasi pergerakan massa. Lalu pada hari ini pers yang tidak hanya terskat oleh media seperti koran, juga telah memberikan peranan penting dalam mendulang pergerakan massa, bahkan di semua sisi. Media sisoal juga hari ini telah menjadi corong atas pers itu sendiri, meski dalam sifatnya sebagai sub-pers, namun media sosial telah  di asumsikan sebagai alat penunjang pers dominan itu sendiri - belakangan. Hingga berimbas pada penurunan angka penjualan koran cetak seperti sedia kala. Hal ini sudah barang tentu di topang oleh media sosial yang, hampir penduduk bumi memiliki akses untuk menuju kesana. Dan jelas pola kebudayaan membaca kita bergeser, dari kertas menuju digital. 

Membayangkan netralitas pers saat ini sepertinya terlalu ilusionis. Hoax mudah di produksi, adu doma mudah dilakukan dan perpecahan mulai menjelang. Pers yang mengambil sikap netral adalah pers heroik dan sepertinya hanya dalam ranah imajiner. Dari pembacaan atas buku Pembreidelan Pers Di Indonesia setidaknya bisa menjadi pisau pembacaa pers hari ini. Banyak literatur yang berbicara tentangnya, namun buku tersebut dapat menjadi satu dari sekian banyak refrensi penulisan mengenai pers yang valid. Sekali lagi, objektitas pada hari ini menjadi barang termahal. Kita berbicara, pers itu milik siapa maka kita bisa menebak out put pers itu berlari kemana.  

pict by; Google 

Tuesday, January 01, 2019

Buku & Nuklir; Bibliokas Dalam Sirkuit Sejarah


Beberapa hal yang sedikit menggelikan terjadi belum lama ini, razia buku atau sweeping atas buku-buku yang di lakukan oleh beberapa orang berseragam, pada Rabu 26 Deember 2018 yang mafhum kita asumsikan sebagai seorang yang  ‘gagah’. Dengan dalih yang cukup mengesankan, bahwa buku di anggap sebagai acaman atas stabilitas sebuah negara, seperti buku yang berbau Marxisme-Leninisme dan Mao-tsung atau lebih tepatnya adalah kominisme, maka tindakan selevel sweeping pun di galakan. Apa sebenarnya yang terjadi di negeri dengan euforia bahwa bangsanya ingin sejajar dengan bangsa lain di negara-negara maju. Lebih dari itu bahwa animo razia telah begitu menggebu dalam mengamankan buku-buku yang kiranya dapat ‘merusak’ generasi bangsa. Begitupula dengan undang-undang yang memfatwakan atas kecerdasan bangsa, terkesan kontradiktif dengan apa yang tejradi belakangan. 

Kita tentunya mafhum atau paling tidak hati nurani kita berkata ‘itu prosedur atasan’. Memang hal demikian bukan hanya terjadi pada era dimana sebuah bangsa di dorong untuk maju dengan menggalan program literasi pada setiap lininya, sekali lagi meskipun terjadi kontradiksi, kita abaikan.

Kita flash back sebentar, bahwa pada UU No.4/PNPS/1963 yang dulu di njadikan tendensi atas sebuah pelarangan buku di Indonesia telah menuai sukses besar. Meski pun UU Pers No. 40/1999 juga menjadi komparasi atas UU63 Tersebut. Di pucuk tahun 2009, pelarangan buku pun terjadi, 5 buku di larang beredar, dengan asumsi yang sama – berbahaya. Pertama, Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto  besutan John Rosa. Kedua, Suara Gereja Bagi Umat Tertindas: Penderitaan Tetesan Darah dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan di Papua Barat Harus Diakhiri karya Socrates Sofyan Yoman. Ketiga, Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senya Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965 karya Rhoma Dwi Aria dan Muhidin M Dahlan. Keempat, Enam Jalan Menuju Tuhan karya Darmawan. Kelima, Mengungkap Misteri Keberagaman Agama karya Syahrudin Ahmad. Dari kelima buku tersebut, entah apa yang di pikirkan oleh mereka sebagai eksekutor sweeping atau dalang dari hal itu. Yang jelas bahwa kemajuan peradaban sebuah bangsa di manapun di dunia ini tidak bisa menafikan satu instrumen pengetahuan penting bernama buku. 

Kemudian di Indonesia, pada masa Orde Baru juga menerapkan kontrol atas pers yang point of view-nya meliputi lima hal; 1. Kontrol kolektif dan preventif terhadap kepemilikan institusi media. 2. Kontrol terhadap individu dan kelompok pelaku profesional seperti wartawan atau penulis melalui mekanisme dan reguilasi yang ketat. 3. Kontrol terhadap produk teks yang di ciptakan, baik pemberitaan ataupun buku. 4. Kontrol terhadap sumber daya, seperti halnya monopoli kertas oleh penguasa. 5. Kontrol terhadap akses ke pers, berupa pencekalan tokoh-tokoh oposan tertentu yang tidak di tampilkan dalam pemberitaan pers.    

Tidak kalah menariknya pada masa lalu, juga terdapat bibliokas, seseorang atau kelompok yang berhasrat menhancurkan buku dalam skala kecil atau besar. Seperti penghancuran buku yang terjadi di Sumeria sekitar 5.300 tahun lampau, yang disebabkan oleh perang yang berujung pada pembakaran. Seperti halnya perpustakaan yang tak luput dari kobaran api, mengingat bahwa perpustakaan adalah sebuah kuil ingatan dari sebuah bangsa. Kemudian dalam Romawi kuno terdapat istilah damnatio memoriae yaitu penjatuhan hukuman atas ingatan yang di golongkan tercela atau mengganggu stabilitas kerajaan. Meskipunjuga terdapat genizah atau tempat menyembunyikan, dan biasanya kata ini di gunakan untuk menyimpan ingatan pada masa lalu oleh orang-orang Roma pada masa lalu. 

Penghancuran buku mafhum terjadi, baik buku-buku milik umum atau pribadi, dan penghancuran tersebut tentunya melalui beberapa fase melankolik seperti; pembatasan, peminggiran, penyensoran, penjarahan, dan yang berujung pada pembakaran. Namun hal demikian tidaklah tidak mungkin, apabila fenomena ini di benturkan dengan sebuah kepentingan – politis misalnya. Fenomena ini juga dikenal sebagai akulturasi ataupun transkulturasi, saat sebuah kebudayaan memaksakan dirinya pada kebudayaan laindengan cara mencangkokkan ingatan-ingatan baru pada masyarakatnya. Dinukil dari Umberto Eco, bahwa terdapat tiga bentuk penghancuran buku di dunia ini. Pertama, biblioklas fundamentalis, yaitu mereka yang tidak membenci buku sebagai objek, mereka takut akan isinya dan tidak ingin orang lain membacanya. Kedua, bibliosida sebab keabadian yaitu buku yang tidak di rawat dan mebiarkan buku rusak begitu saja tanpa ada yang menyentuhnya, hal ini pernah terjadi di Italia. Ketiga, bibliosida sebab kepentingan, yaitu dengan merusak buku-buku untuk menjualnya per-lembar atau per-potong dengan tujuan laba yang lebih besar. 


Mungkin buku bukan dianggap sebagai media pencerdasan kehidupan bangsa, melainkan sebagai elemen potensial yang mengganggu ketertiban umum.


Dengan berpijak dari kata bahaya, yang dalam term di definisikan sebagai sesuatu yang (mungkin) mendatangkan kecelakaan (becana, kesengsaraan, kerugian). Maka kita tarik kesimpulan sementara bahwa buku yang di anggap berbahaya maka sama halnya dengan nuklir yang selama ini menjadi pusat perhatian dunia sebab dampaknya. Sehingga dalam membendung upaya pembuatajn nuklir beredar di tempat lain maka di lakukan upaya denuklirisasi dengan jalan diplomatis antar negara yang memiliki kepentingan. Pun dengan buku yang selama ini kerap kali di sweeping dengan sebab yang setara. Isu komunisme begitu erat kaitannya dengan sweeping  yang di lakukan oleh bibliokas dengan dalih-dalih yang sama. Dan tak syak lagi penulisnya pun tidak hanya mendapatkan stigma semata, lebih dari itu para penulis sejarah yang tak sejalan dengan ideologi pemerintah di penjara atau bahka di deportasi.    

Menjadi sesuatu yang janggal saat membicarakan kebebasan bereksperasi namun di dalamnya terdapat ‘sensor’, meskipun dalam medium penunjang kemajuan sebuah bangsa. Kemajuan sebuah peradaban tanpa di tunjang oleh sebuiah bacaan adalah hampa.  Dan menurut Dimam Abror, kedidaksepakatan seseorang terhadap sebuah buku semestinya dilawan dengan menuliskan buku tandingan.          

pict by; google

Friday, November 30, 2018

Caleg; Foto ‘Editan’ & Kinerja ‘Borongan’


Wajah polesan hasil besutan corel draw atau photo shop, baliho kecil menyeka pohon hingga tebaran janji yang berhamburan adalah realita yang sedangf kita hadapai saat ini. Menjelang pesta demokrasi yangt akan di lakukan pada bulan April 2019 nanti, dari pemilihan presiden hingga pemilihan dewan legislatif. Sudah barangtentu meraka yang di usung oleh partai atau dengan mencalonkan dirinya sudah mempersiapkan segala sesuatunya dengan matang, laiknya tuan rumah hajat. 

Dokumen; lelakibugis.net
Mendatangi warga dengan suka cita serta (blusukan) seolah menjadi trend yang tak terelakkan pada gelombang politik hari ini, media kampanye kreatif jika dikatakan, atau mungkin  dengan menyambangi berbagai komunitas, pesta adat atau acra yang berbasis kerakyatan, meski itu tak ada sangkutpaut dengan personal calon tersebut. Dan tentu ini telah menjadi hal lazim juga, meskipun iklim politik saat ini begitu menghawatirkan, akantetapi semuanya tertebus dengan poster calon dengan wajah editannya, dengan janji-janji manisnya dan tentu saja dengan visi-misinya yang di jadikan brand ambassador dalam rekam jejak kampanye tersebut. 

Dengan modal yang disokong oleh beberapa kolega juga beberapa perusahaan (mungkin), menjadikan mereka, para calon tersebut seolah berlomba dalam meraih simpati konstituen, cost politic mungkin suatu saat akan tergganti pikirnya, meskipun bidikan lensa KPK sudah seperti demonologi bagi setiap koruptor sebelumnya. Dan hari ini mereka juga berlomba, semoga tidak terjadi apa-apa.

Kembali bahwa apa yang sejak awal dilakukan oleh para kontestan politikus tersebut sangat jauh dari kata logis, etik dan estetika. Pasalnya, dengan berserakanya baliho yang biasa kita jumpai di pinggir jalanj, bajkan gang pedesaan telah menjadi satu dari sekian banyaknya indikator bawa mereka belum mengindahkan apa itui tata kelola keindahan lingkungan – apalagi menjaganya. Kemudian dengan memasang baliho pada pohon dengan cara di paku atau dengan mengaitkan kawan pada batang pohon tersebut menjadikan pohon tersebut terhambat pertubuhannya, ini belum lagi ditambah dengan karat yang di hasilakan oleh paku atau kawat tersebut.

Berangkat dari hal sepele tersebut, bukankah para calon tersebut hanya taken granted akan norma sisial yang non-tertulis, belum memahami objek dan subjek alam dalam kehidupan, dan yang lebih krusial lagi ialah para calon tersebut tidak membekali para simpatian dadakan tersebut dengan pemahaman ekologis. Masa bodo, memang itulah yang terjadi, dan pabila di ingatkan melalui kritik, tentu membosankan sebab pada dasarnya mereka politus bukan negarwan. “Politik sebagai sebuah kultuir, perannya dalam sejarah adalah juga melakukan semacam pemberadaban pada publik yang menjadi konstituen, menjadi subjek primer kinerjanya” tulis Radar Panca Dahana. Dan kita terkadang kecewa dengan apa yang dilakukan oleh para anggota dewan kita belakangan ini, bahkan konyol jika di katakan. Kita tentu bebas mengintepretasikan bahwa apa yang di tampilkan di layar kaca atau di tulis oleh wartawan itu hanya sebagai framing atas beberapa kelompok, atau bisajadi lawan politiknya sehingga media getol mengcounter pemirsa-pembaca dalam membangun image bahwa kinerja dewan perwakilan kita kurang bermutu, jika tidak mengatakn bobrok.  

Maka tidak heran apabila ketika sidang mereka banyak yang terlelap tidur di ruang rapat, berebutan proyek hingga membuat laporan editan serta proposal-fikif.

Namun begitulah faktanya, sentilan serta ide konyol yang sering di tampilan dalam lini massa menjadikan kepercayaan akan dewan perwakilan yang ‘dianggap’ bisa mewakili suara rakyat secara gradual mengalami degradasi. Semenjak korupsi hingga skandal perselingkuhan yang kerapkali menjadi hadline dalam berita, maka image akan kebobrokan demi kehancuran telah sudah nampak, kong-kalikong dalam mengamankan status quo setiap individu sudah menjadi hal yang mafhum, mengapa? Mereka yang di usung oleh partai hanya menjadi alat partai pengusungnya, sehingga hanya sami’na wa ato’na pada partai kemudian dalam sikap serta pengambilan kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Dan jika demikian mereka para calon hari ini bisa dikatakan hanya boneka dari partai tersebut, setelah bargaining terjadi di lapisan atas. Yah beginilah iklim politik kita. 

Kotak pemilu seolah berevolusi menjadi kotak pandora.
      

Wednesday, November 28, 2018

Lumbung Padi Dirundung Pilu

Lumbung Padi Dirundung Pilu, PLTU 2, Indramayu, UIP JBT, Penakiri
Dokumen Walhi Jabar
Tiada hal di dunia ini yang baik-baik saja, terlebih kata makmur dan sejahtera, adalah hal semu eufemisme. Dengan beberapa indikator pendeknya dalah ketidakadilan yang berdampak pada munculnya embrio kekacauan di segala sektornya. Kemudian dalam bermasyarakat persoalan terus ada, dari persoalan keadilan antar personal maupun komunal, dan yang selama ini terjadi adalah ketimpangan yang tiada berujung.

Seperti halnya sebuah pembangunan infrastruktur di Indonesia saat ini, terdapat 225 proyek strategis nasional, 1 program PSN (Proyek Strategis Nasional), dan 30 proyek prioritas yang berasal dari Kementerian Keuangan. 30 proyek itu diatur dalam Peraturan Menteri Ekonomi Nomor 12 Tahun 2015 dan akan menerima fasilitas sesuai Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 tentang percepatan pelaksanaan proyek strategis nasional.

Namun keberadaannya seringkali berdampak negatif kepada kehidupan masyarakat dan lingkungan sekitar. Seperti keberadaan sejumlah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang terus mendapat penolakan di berbagai daerah, seperti halnya dengan apa yang terjadi di Indramayu saat ini.

Pembangunan yang sebenarnya hanya menguntungkan kepentingan kelompok menengah atas, justru harus mengorbankan ruang hidup manuisa di dengan kelas di bawahnya – lingkup ekonomi dalam skala prioritasnya. Hingga kemudian alam dan organisme di dalamnya mendapatkan suatu ancaman, ketika ruang hidupnya di alihfungsikan sebagai penopang kepentingan manusia. Dalam persoalan hari ini, buruh tani khususnya, sedang dalam kondisi yang tidak baik-baik saja.

Sebab “Dalam keterangan resminya, PT PLN (Persero) Unit Induk Pembangunan Jawa Bagian Tengah (UIP JBT) menjelaskan PLTU 2 Indramayu merupakan salah satu program infrastruktur ketenagalistrikan yang menjadi bagian dari proyek strategis nasional. Proyek pembangkit listrik berkapasitas 2 X 1.000 Mega Watt tersebut mendapatkan sokongan dana dari Japan International Corporation Agency (JICA).”[i]

Proyek tersebut membutuhkan ratusan hektar tanah dan tempat yang strategis tentunya, seperti dekat dengan jalur utama pendistribusian dan juga laut, tentu saja hal ini di maksudkan untuk menekan biaya produksi yang rendah, meski dengan konsekuensi akan menmatikan biota laut dengan limbahnya. Namun tentu saja akumulasi modal yang berjalan tidaklah stagnan, terelebih ini adalah proyek strategis nasional, sudah barang tentu akan memakan biaya yang sangat besar dari JICA tersebut, dan lagi-lagi negara akan berhutang demi hal ini.

Oleh sebabnya, masyarakat yang menolak pembangunan PLTU 2 tersebut terus melakukan perundingan dengan pihak-pihak yang terkait, seperti Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan hingga komnas HAM. Semua ikhtiar ini di lakukan guna mengantisipasi terkikisnya ruang hidup yang selama ini tempat bergantung mereka, dan apabila pembangunan tersebut dilakukan maka mereka tidak menikmati hasilnya, sebab dalam dunia industri klasifikasi pendidikan serta life skill sangatlah di butuhkan, sedangkan mereka yang hanya status sosialnya sebagai buruh tani dengan pendidikan yang tidak masuk dalam klasifikasi industri akan tersingkir, dan lagi tidak bisa menikmati manfaat dari adanya pembangunan tersebut.

Dan sudah barang tentu yang menikmati hasilnya adalah para investor yang telah menanamkan modalnya di sekitaran jalur pantura. Wilayah tiga, yang dalam hal ini ialah Indramayu, Cirebon, Majalengka dan Kuningan atau bisa juga di katakan Jawa Barat. yang hendak di jadikan sebagai pusat industri, telah di buktikan dengan adanya bandara dan jalur tol Cipali. Hingga saat ini, telah menjamur pabrik-pabrik baru, yang tentunya membutuhkan pasokan energi super, dan dengan di bangunnya PLTU 2 akan memudahkan dalam mengopersionalkan perusahaan. Lalu kemana mereka akan menggantungkan hidupnya apabila lahan produktif yang selama ini di garapnya di jadikan sebuah perusahaan bertaraf nasional tersebut?.

Peliknya persoalan agraria saat ini semakin tak tertahankan, konsesi dan pencaplokan lahan (land grabbing) yang merajalela, telah menambah daftar hitam bahwa negara sama sekali belum mensejahterakan masyarakatnya, kemudian apabila membicrakan keadilan, mungkin adalah persoalan lain. Sedangkan apabila membicarakan soal pembelaan terhadap ekosistem alam yang kini di rundung segudang persoalan, memang terdapat berbagai legitimasi atasnya, seperti seruan untuk menjaga dan melestarikannya. Dan setiap ajaran agama menghendaki para penganutnya agar dapat menjalin relasi harmonis dengan alam raya sebagai tempat dan sumber hidup baginya.[ii]

Namun dalam relaitas belakangan, agama telah dijadikan komoditi serta hanya terjebak dalam ritual-ritual simbol (baca: ibadah mahdah), namun dalam persoalan semacam ini agama seringkali di kesampingkan, hingga esensi agama menjadi kering karenanya. Kecenderungan ini menjadi sebuah indikator atas kerakusan manusia kepada alam, dan bahwa alam hanya di persepsikan sebagai alat pemuas kebutuhannya – tanpa simbiosa. Eksploitasi alam yang kerapkali terjadi merupakan sebuah surplus atas animo kebutuhan setiap manusia, baik untuk kebutuhan dirinya, maupun dengan alibi sebagai penopang kebutuhan industri yang berdapak pada pendapatan negara.

Lahan produktif yang kian hari kian berkurang kuantitasnya menjadi tanggungjawab bersama, memepertahankan serta mengolahnya demi kelangsungan hidup umat manusia di kemudian hari.
Dan apa yang menimpa warga Mekarsari Indramayu hari ini adalah satu dari sekian banyaknya representasi atas konsesi yang terjadi di Indonesia, meskipun dengan alasan perizinian serta perumusan atas Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) masyarakat terdampak tidak dilibatkan, dan hanya sebagian masyarakat yang dilibatkan dalam sidang pembentukan Amdal pada 2011 lalu, hal ini tentu saja tidak sesuai prosedur yang sesuai dalam masyarakat, biak dalam aturan konstitusi ataupun kebudayaan dalam masyarakat sebagaimana adanya.

"Sebab, dalam proses penyusunan dan sidang Amdal PLTU 2 Indramayu tidak melibatkan warga yang terdampak langsung seperti dijelaskan dalam PP 27 tahun 1999 tentang Amdal,"[iii] yang kemudian hal ini juga terdapat perubahan dalam hal peraturan Amdal tersebut, antara 2010 dan 2015 yang telah berubah. Dan yang memilukan ialah kurang lebih 377 orang pemilik lahan dipaksa menyerahkan lahan mereka dengan dalih program pemerintah mewujudkan target energi listrik 35.000 mega watt. Kondisi yang kontras tentu dirasakan oleh sekitar 1.500 buruh tani yang bekerja di lahan tersebu karena terancam tak punya pekerjaan apabila PLTU 2 di bangun. Keadaan itu kemudian menjadikan warga yang terdampak melakukan unjuk rasa di berbagai lembaga, hal itu dimaksudkan untuk meminta keadilan atas apa yang terjadi pada ruang hidup serta ekosistem alam di sekitarnya.

Meskipun WALHI Jawa Barat menilai proyek pembangunan PLTU Indramayu 2 x 1000 MW di Desa Mekarsari cacad prosedur dan substansi. Beberapa dasar izin lingkungan PLTU batu bara Indramayu 2 cacad prosedur dan substansi, adalah:

1. Bupati tidak berhak menerbitkan objek gugatan .Penerbitan objek gugatan dalam hal ini izin lingkungan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, yakni Pasal 27 Ayat (1) dan Ayat (3) UU Pemerintahan Daerah serta Lampiran UU Pemerintahan Daerah Bagian No. I Huruf Y sub urusan nomor 1.

2. Bupati tidak memiliki kewenangan untuk menerbitkan izin lingkungan sehingga izin lingkungan harus dinyatakan tidak sah dan segala akibat hukum yang ditimbulkan dari penerbitan objek gugatan dianggap tidak pernah ada.

3. Izin Lingkungan diterbitkan tanpa Surat Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup (SKKLH). Sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 36 ayat (2) UU PPLH 32 tahun 2009, yaitu “Izin Lingkungan diterbitkan berdasarkan keputusan kelayakan lingkungan hidup.”

4. Izin lingkungan diterbitkan tanpa Melibatkan Partisipasi Masyarakat yang Terkena Dampak. Sebagaimana diatur pada pasal 26 ayat (2) Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Izin lingkungan.

5. Objek gugatan diterbitkan berdasarkan pada dokumen AMDAL yang mengandung cacat hukum, kekeliruan, dan penyalahgunaan dokumen dan/atau informasi, sehingga cacat substantif. Diantaranya Rona awal lingkungan hidup,Penentuan besaran dan sifat dampak penting hipotetik,Evaluasi secara holistik terhadap seluruh dampak penting; dan RKL-RPL.

6. Penerbitan Objek Gugatan Bertentangan dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik.

Selain itu Majelis Hakim menilai surat keputusan yang diterbitkan oleh Bupati Indramayu bukam merupakan kewenangan yang bersangkutan. Melainkan merupakan kewenangan DPMPTSP Indramayu. Sebagaimana tercantum di Perda No.15 tahun 2015 tentang Juklak Pelayanan terpadu Satu Pintu.[iv]

Masalah tersebut terus hadir dalam masyarakat yang terdampak, upaya demi upaya penyelesaian belumlah mendapat jawaban pasti atas apa yang terjadi pada mereka, pro dan kontra adalah hal biasa dalam memandang sebuah permasalahan. Bagi meraka yang tidak terkena dampak atas pembangunan tersebut sudah barang tentu mendukung sepenuhnya, namun bagi mereka yang terkena dampak secara langsung tentu dengan sekonyong-konyong menolaknya.

Serikat seperti Jaringan Tanpa Asap Batu Bara Indramayu (JATAYU) merupakan simpul konkrit, mereka yang menyuarakan penolakan PLTU 2 Indramayu tersebut, sebagian besar anggota di dalamnya merupakan buruh tani dan nelayan yang merasakan dapak dari adanya pembangunan energi listrik tersebut. Jatayu berperan sejak lama mengorganisir dan bergerilya dalam penolakan PLTU 1 di Sumur Adem yang telah membawa mantan bupati Indramayu sampai balik jeruji. Tentu saja peranan Jatayu di perhintungkan dalam hal ini. Militansi serta solidaritas yang terbangun dalam komunitas tersebut merupakan upaya membangun kesadaran kolektif masyarakat, sehingga dalam menghadapi persoalan mereka sudah terbiasa urun rembug dan mengesampingkan ego pada setiap anggotanya.

Persoalan yang di alami oleh Jatayu merupakan sebuah permasalah pelik yang berujung pada sistem birokrasinya yang kusust, meskipun upaya fair telah dilakukan akantetapi pengabaian dari kasus tersebut tidaklah mendapatkan respon yang serius, mengingat dampak yang akan di rasakan bukan hanya pada manuia yang yang hidup di sekitaran PLTU tersebut, akan tetapi segala unsur yang bersentuhan langsung dengan alam pun merasakan impact dari limbah tersebut.

Krisis Udara Bersih dan Kriminalisasi Petani

Silih bergantinya aksi dan mediasi yang dilakukan oleh kelompok Jatayu memberikan dampak yang signifikan, secara gradual mereka melakukan aksi damai pada setiap demonstrasinya, hingga kemudian surat pemberitahuan aksi yang di terima oleh pihak Polres Indramayu menjadi sebuah kemafhuman. Upaya aksi ini sebagai alasan terakhir apabila upaya mediasi sama sekali tidak mendapatkan respon dari pihak yang dituju. Dari aksi lapangan, di lahan sawah Mekarsari yang hendak dijadikan bangunan Pltu, hingga aksi pada di berbagai kantor dinas terkait.

Mengingat dampak yang akan di rasakan oleh penduduk sekitar, udara yang tercemar hingga ancaman biota laut yang akan memutuskan mata rantai atas keberlangsungan mahluk hidup menjadi alasan esensial atas simpul penolakan tersebut. Mengingat bahwa dampak buruk dari asap Pltu mengandung hujan asam, green house efect, ispa atau gangguan pernafasan yang sudah barang tentu mengancam keberlangsungan kehidupan, terlebih jaraknya hanya 200m dari lokasi yang hendak di bangun Pltu dengan pemukiman warga.

Meskipun, apabila di siapkan alat peredam atau setidaknya dapat meminimalisir atas dampak tersebut, tentu dengan sistem yang canggih, belumlah tentu dapat menjadikan suatu legitimasi atas kerusakan yang di sebabkan oleh dampak adanya Ptu tesebut. Walau “AMDAL sudah sedemikian rupa mengantisipasi dampak lingkungan. Salah satunya dengan piranti atau alat yang disebut FGD (flue-gas desulfurization). Alat ini sangat mahal. Bisa mencapai kurang lebih 10% dari biaya investasi.

Karena itu, tidak semua PLTU memakai alat tersebut. Tapi PLTU (Indaramayu) 2 pakai ini. Sebab ini bisa mengurangi banyak sekali SOx (sulfur oksida), dan dalam narasinya “PLTU Indramayu 2 juga akan dilengkapi "dua peralatan canggih" lain untuk menekan emisi, yakni DSP-CFT (dry solids pump coal feed technology) dan ESP (electrostatic precipitator),”[v] alat demikian hanya dapat meminimalisir, akantetapi, dampak keberlanjutan dari adanya proyek tersebut sudah barang tentu akan mengaibatkan banyaknya mikroorganisme yang hidup dalam radius yang sedikit jauh dari adanya proyek tersebut.

Sudah sepatutnya manusia yang sadar akan krisis udara bersih dan yang telah terkontaminasi oleh polusi menjadi tersadar, secanggih apapun proteksinya, sekuat apapun konstruksi yang di bangun untuk melindungi kehancuran alam, tetap saja alam memiliki cara lain untuk mendegradasikan siapa saja yang menentangnya. Naluri manusia memang tidak pernah puas akan apa yang telah menjadi miliknya, dan hal ini adalah alami, berangkat dari ego setiap individu.

Namun dalam mengelola alam dengan segala kerunianya, setiap individu memiliki porsi yang sama, sebab semua yang di berikan alam merupakan karunia bagi setiap mahluk yang ada di dalamnya. “Berlaku adil sejak dalam pikiran” tukas Pramoedya Ananta Toer, meskipun keadaan ini kontras dengan realitas yang terjadi di sekitar kita, upaya pencaplokan lahan (land grabbing), konsesi serta konflik agraria yang saat ini berkembang mengakibatkan representasi atas tercapainya sebuah pemerataan ekonomi, terlebih monopoli kekuasaan yang semakin memudahkan akses birokrasi pada level elit politik didalamnya.

Mengingat Perpres nomor 3 tahun 2016 mengharuskan para gubernur dan bupati untuk mendukung percepatan pelaksanaan proyek strategis nasional di wilayahnya. Dalam naskah yang ditandatangani itu, di dalamnya mencakup penanganan dampak lingkungan atas kegiatan pembangunan PLTU tersebut.[vi] Tidak menutup kemungkinan bahwa dalam proses perizinan, birokrasi mengabaikan hal-hal krusial saat ini. Meskipun dengan dalih percepatan pembangunan atau dengan argumentasi lain, tetap saja bahwa dampak terbesar dari hujan asam serta limbah yang dihasilkan dapat mematikan ekosistem yang terdapat di sekitar bangunan tersebut.

Terlebih lahan tersebut merupakan lahan produktif dan juga tempat masyarakat menggantungkan kehidupannya. Sedangkan apabila mereka kehilangan lahan tersebut, hendak kemana mereka akan menggantungkan hidupnya?, meskipun PT. PLN mengadakan Pelatihan yang diberikan bagi 27 orang Warga Terdampak Proyek (WTP) PLTU Indramayu tersebut, menurut dia, digelar bekerja sama dengan Indonesian Welding Association (IWA) dan berlangsung selama 10 hari, pada 21 sampai 30 November. Peserta pelatihan adalah WTP dengan rentang usia mulai dari 22 sampai dengan 35 tahun.[vii] Padahal yang lebih merasakannya ialah mereka yang bercocok tanam di daerah tersebut.

Lebih memilukan lagi karena sampai hari ini dua orang pejuang lingkungan hidup dari Mekarsari menjadi sasaran kriminalisasi, dengan tuduhan pembalikan bendera merah putih. Seperti pada pasal 24 jo pasal 66 tentang lambang dan bendera Negara, dan bertepatan dengan Hari Tani Nasional (HTN) 24 september 2018 lalu, Sawin dan Sukma kembali mendapat surat panggilan dari polres Indramayu, kemudian pada tanggal 27 September 2018 Sawin dan Sukma dilimpahkan penyidik polres ke kajaksaan negeri Indramayu.[viii]

Hal inilah yang kemudian menjadi tantangan solidaritas Jatayu serta aktivis Indramayu dalam mengawal kasus yang keliru tersebut. Bahwa dalam jargon Lumbung Padi yang di kumandangkan oleh pemerintah daerah tidaklah sinkron dengan realita di lapangan. Dari land grabbing yang berbuntut pada kriminalisasi petani menjadikan jargon tersebut tak berlaku sama sekali.

*Pegiat literasi Street Art dan solidaritas Dermayu Ora Meneng (DOM).

[i] http://www.radarcirebon.com/pln-siapkan-dokumen-lelang-konstruksi-pltu-2-dimulai-tahun-2019.html. Diakses pada 12 November 2018
[ii] Febriani, Nur Afiyah, Ekologi Berwawasan Gender, Mizan Pustaka 2014; cet 1, hlm 114.
[iii] http://www.pikiran-rakyat.com/jawa-barat/2016/10/20/izin-lingkungan-pltu-2-dipertanyakan-382758. Diakses pada 12 November 2018
[iv] https://www.wartakini.co/2017/12/gugatan-dikabulkan-majelis-hakim-ptun-bandung-cabut-izin-lingkungan-pltu-indramayu-2x1000-mw/. Diakses pada 13 November 2018.
[v] https://tirto.id/cirebon-dan-indramayu-menggugat-pltu-cBuu. Diakses pada 13 November 2018.
[vi] http://www.kabar-cirebon.com/2017/09/wujudkan-listrik-2x1000-mw/. Diakses pada13 November 2018.
[vii] http://www.pikiran-rakyat.com/ekonomi/2017/11/24/warga-terdampak-pltu-indramayu-diberikan-program-pelatihan-414464. Diakses pada 13 November 2018.
[viii] https://walhi.or.id/bebaskan-sawin-dan-sukma-hentikan-kriminalisasi-pejuang-lingkungan/. Diakses pada 14 November 2018.;