Tuesday, January 22, 2019

Menziarahi Pers Sebelum Kaburnya Independensi

Sepintas pembacaan literatur dunia pers di masa lalu begitu menyenangkan, betapa tidak, kita dapat menyelami hal yang sama sekali belum kita ketahui. Dalam telaahnya, Edward C. Smith melakukan sebuah riset atas pers pada masa pra-kemerdekaan hingga pada masa revolusi. Pada masa usia bangsa Indonesia masih begitu belia, semuanya terangkum dalam karyanya: Pembreidelan Pers Di Indonesia. Dalam buku terdiri atas enam bab tersebut, tergambar alur histori dunia pers, pelaku, hingga perlakuan pemerintah pada masa awal memperlakukan pers yang di dalamnya di sajikan data fakta. Sehingga feed back-nya akan terasa dalam menelaah dunia pers saat ini. Hal ini tentu saja bertujuan sebagai gempuran atas gagasan serta konsep nasionalisme hingga mengangkat derajat manusia Indonesia saat itu.

Setibanya Belanda di Indonesia pada 1596, tentu pada masa selanjutnya mereka memerlukan sebuah media komunikasi berupa gazette, penerbitan berkala atau surat kabar. Kemudian pada tahun 1852 terbitlah surat kabar Java Bode yang bertahan sampai tahun 1957, dan dalam rentang waktu yang lama tersebut pemerintah Belanda menerbitkan Drukpersreglement, Undang- Undang Pers, pada tahun 1856. Dan Kabar Bahasa Melajoe terbit pada tahun 1856, surat kabar ini di peruntukkan bagi pembaca yang bukan Belanda, seperti Cina dan diterbitkan oleh Belanda. Hingga masyarakat Cina yang berada di Indonesia pun menerbitkan surat kabar Sin Po (1910) dan Keng Po (1923). Orang Cina dengan gesit dapat menghindari control atas pers hingga nasibnya berada di ujung tanduk pada tahun 1965. Di susul oleh surat kabar milik VOC, Bataviase Nouvelles pada 1744 oelh J.E Jordens, dan hanya bertahan hingga 1746, pun ditutup atas perintah De Heeren Zeventien (Berita Lelang), direktur VOC.  Namun VOC memiliki satu berita mingguan Het Vendu-Nieuws yang di inisiasi oleh L. Dominicus pada tahun 1776-1809. Sehingga dalam kurun waktu yang lama, masyarakat Indonesia, khususnya yang terpelajar, mulai menulisklan ide serta gagasannya pada sebuah media.tempat-tempat di Jawa muali memuculkan pers-pers yang lain, seperti di Batavia dengan nama Nieuw Bataviaasch Handelsblad pada tahun 1806 dan di Surabaya memiliki Soerabaja Courant (1833-1859), kemudian Oostspost yang gulung tikar pada 1865. Pada 1945 Berita Indonesia hadir, harian ini juga di jadikan suatu tendensi atas pecahnya revolusi yang di susul oleh Merdeka dan surat kabar Times yang lahir pada 03 Oktober 1955. Hingga pada asa revolusi, Batavia telah memiliki Duta Masjarakat pada 1953.       

Bukanlah barang baru apabila sebuah gerakan, khususnya partai, haruslah memiliki sebuah media dalam upaya melebarkan sayapnya serta ekspansi atas ide-ide dalam merekrut anggota. Dan hal ini telah terjadi pada masa setelah kemerdekaan. Seperti  harian Pedoman milik partai Sosialis, terbit pada 1948, di usung oleh Rosihan Anwar dalam usahanya untuk menyokong partai Sosialis tersebut. Indonesia Raya terbit pada 1940 sebagai surat kabar yang konsekuen dengan Anti-komunisnya. Partai berhaluan agama seperti Masyumi juga memiliki surat kabar dengan nama Abdi yang pada sat itu memilii sirkulasi hingga 17.000 eksemplar. Dan surat kabar milik partai Komunis Harian Rakyat mulai terbit pada 1951 dan pada 1965 harian itu resmi di tutup. Dan Suluh Indonesia yang berafiliasi dengan Partai Nasionalis Indonesia mulai terbit pada 1953. Surat kabar tersebut menjadi corong atas gerilya mereka yang menuai pro-konta atas pemerintah pada masa setelah kemerdekaan. Dan pada 17 Maret 1950, pemerintah telah membentuk Dewan Pers. Dari titik ini, kemudian banyak jurnalis bahkan redaktur yang keluar masuk jeruji besi, sebut saja Muhtar Lubis yang kerap kali menulis artikel serta oponi yang tajam telah ‘mengganggu’ ketertiban dan stabilitas negara pada saat itu.
Lalu bagaimana soal pers hari ini?, yang dalam masalalunya pun telah di back up oleh partai politik, sebagai media opoisi atau juga penyokong paratai penguasa saat itu. Dan pada hari ini etos pers hingga pilihan rubrikasi seolah-olah terasa monoton. konten yangt sedikit pedas harus melaui tahap ‘sensor’ ketat, kadang selain penghilangan kata, juga substansi atas sebuah tulisan yang bernuansa pedas tidaklah sepenuhnya di tampilkan. Belum lagi iklan bakal calon (balon) yang hampir memakan setengah dari halaman media massa begitu menyita ruang pembaca, dan dari hal demikian maka beberapa indikator atas kurangnya indpendensi juga netralitas pers telah bisa terlihat. Seperti banyaknya berita yang menampilkan sebuah kegiatan partai politik tertentu hingga persoalan pribadi dari personal partai tersebut. Hal ini juga akan bermuara pada permainan pers dengan korporasi yang belakangan juga marak terjadi.Kecenderungan ini memang bukanlah hal baru di dunia media kita. Edward C. Smith setidaknya telah meberikat sedikit view mengeni pers di Indonesia, meskipun kecenderungan atas informasi yang di berikannya pun tidak bia mengelak dari subjektifitas, seperti pembahasan mengenai Muhtar Lubis yang terus mewarnai pada setiap babnya hingga gaya penulisan yang terjebak dalam dalam primernya. 

Kembali bahwa dalam banyak literatur mengenai pers. Pers banyak berjasa dalam masa penjajahan pada saat itu, selain menyatukan animo atas nasionalisme, pers juga berjasa membolisasi pergerakan massa. Lalu pada hari ini pers yang tidak hanya terskat oleh media seperti koran, juga telah memberikan peranan penting dalam mendulang pergerakan massa, bahkan di semua sisi. Media sisoal juga hari ini telah menjadi corong atas pers itu sendiri, meski dalam sifatnya sebagai sub-pers, namun media sosial telah  di asumsikan sebagai alat penunjang pers dominan itu sendiri - belakangan. Hingga berimbas pada penurunan angka penjualan koran cetak seperti sedia kala. Hal ini sudah barang tentu di topang oleh media sosial yang, hampir penduduk bumi memiliki akses untuk menuju kesana. Dan jelas pola kebudayaan membaca kita bergeser, dari kertas menuju digital. 

Membayangkan netralitas pers saat ini sepertinya terlalu ilusionis. Hoax mudah di produksi, adu doma mudah dilakukan dan perpecahan mulai menjelang. Pers yang mengambil sikap netral adalah pers heroik dan sepertinya hanya dalam ranah imajiner. Dari pembacaan atas buku Pembreidelan Pers Di Indonesia setidaknya bisa menjadi pisau pembacaa pers hari ini. Banyak literatur yang berbicara tentangnya, namun buku tersebut dapat menjadi satu dari sekian banyak refrensi penulisan mengenai pers yang valid. Sekali lagi, objektitas pada hari ini menjadi barang termahal. Kita berbicara, pers itu milik siapa maka kita bisa menebak out put pers itu berlari kemana.  

pict by; Google 

No comments:

Post a Comment