Sepintas pembacaan literatur dunia pers di masa lalu begitu menyenangkan,
betapa tidak, kita dapat menyelami hal yang sama sekali belum kita ketahui. Dalam
telaahnya, Edward C. Smith melakukan sebuah riset atas pers pada masa
pra-kemerdekaan hingga pada masa revolusi. Pada masa usia bangsa Indonesia
masih begitu belia, semuanya terangkum dalam karyanya: Pembreidelan Pers Di
Indonesia. Dalam buku terdiri atas enam bab tersebut, tergambar alur histori
dunia pers, pelaku, hingga perlakuan pemerintah pada masa awal memperlakukan
pers yang di dalamnya di sajikan
data fakta. Sehingga feed back-nya akan terasa dalam menelaah
dunia pers saat ini. Hal ini tentu
saja bertujuan sebagai gempuran atas gagasan serta konsep nasionalisme hingga
mengangkat derajat manusia Indonesia saat itu.
Setibanya Belanda di Indonesia pada 1596, tentu pada masa selanjutnya
mereka memerlukan sebuah media komunikasi berupa gazette, penerbitan
berkala atau surat kabar. Kemudian pada tahun 1852 terbitlah surat kabar
Java Bode yang bertahan sampai tahun 1957, dan dalam rentang waktu yang
lama tersebut pemerintah Belanda menerbitkan Drukpersreglement, Undang-
Undang Pers, pada tahun 1856. Dan Kabar Bahasa Melajoe terbit pada tahun
1856, surat kabar ini di peruntukkan bagi pembaca yang bukan Belanda, seperti
Cina dan diterbitkan oleh Belanda. Hingga masyarakat Cina yang berada di
Indonesia pun menerbitkan surat kabar Sin Po (1910) dan Keng Po
(1923). Orang Cina dengan gesit dapat menghindari control atas pers hingga
nasibnya berada di ujung tanduk pada tahun 1965. Di susul oleh surat kabar milik VOC, Bataviase Nouvelles pada
1744 oelh J.E Jordens, dan hanya bertahan hingga 1746, pun ditutup atas
perintah De Heeren Zeventien (Berita Lelang), direktur VOC. Namun VOC memiliki satu berita mingguan Het
Vendu-Nieuws yang di inisiasi oleh L. Dominicus pada tahun 1776-1809. Sehingga
dalam kurun waktu yang lama, masyarakat Indonesia, khususnya yang terpelajar,
mulai menulisklan ide serta gagasannya pada sebuah media.tempat-tempat di Jawa
muali memuculkan pers-pers yang lain, seperti di Batavia dengan nama Nieuw
Bataviaasch Handelsblad pada tahun 1806 dan di Surabaya memiliki Soerabaja
Courant (1833-1859), kemudian Oostspost yang gulung tikar pada 1865.
Pada 1945 Berita Indonesia hadir, harian ini juga di jadikan suatu tendensi
atas pecahnya revolusi yang di susul oleh Merdeka dan surat kabar Times
yang lahir pada 03 Oktober 1955. Hingga pada asa revolusi, Batavia telah
memiliki Duta Masjarakat pada 1953.
Bukanlah barang baru apabila sebuah gerakan, khususnya partai, haruslah
memiliki sebuah media dalam upaya melebarkan sayapnya serta ekspansi atas
ide-ide dalam merekrut anggota. Dan hal ini telah terjadi pada masa setelah
kemerdekaan. Seperti harian Pedoman
milik partai Sosialis, terbit pada 1948, di usung oleh Rosihan Anwar dalam
usahanya untuk menyokong partai Sosialis tersebut. Indonesia Raya terbit
pada 1940 sebagai surat kabar yang konsekuen dengan Anti-komunisnya. Partai
berhaluan agama seperti Masyumi juga memiliki surat kabar dengan nama Abdi
yang pada sat itu memilii sirkulasi hingga 17.000 eksemplar. Dan surat kabar
milik partai Komunis Harian Rakyat mulai terbit pada 1951 dan pada 1965 harian
itu resmi di tutup. Dan Suluh Indonesia yang berafiliasi dengan Partai
Nasionalis Indonesia mulai terbit pada 1953. Surat kabar tersebut menjadi
corong atas gerilya mereka yang menuai pro-konta atas pemerintah pada masa
setelah kemerdekaan. Dan pada 17 Maret 1950, pemerintah telah membentuk Dewan
Pers. Dari titik ini, kemudian banyak jurnalis bahkan redaktur yang keluar
masuk jeruji besi, sebut saja Muhtar Lubis yang kerap kali menulis artikel
serta oponi yang tajam telah ‘mengganggu’ ketertiban dan stabilitas negara pada
saat itu.
Lalu bagaimana soal pers hari ini?, yang dalam masalalunya pun telah di back
up oleh partai politik, sebagai media opoisi atau juga penyokong paratai
penguasa saat itu. Dan pada hari ini etos pers hingga pilihan rubrikasi seolah-olah
terasa monoton. konten yangt sedikit pedas harus melaui tahap ‘sensor’ ketat, kadang
selain penghilangan kata, juga substansi atas sebuah tulisan yang bernuansa
pedas tidaklah sepenuhnya di tampilkan. Belum lagi iklan bakal calon (balon)
yang hampir memakan setengah dari halaman media massa begitu menyita ruang
pembaca, dan dari hal demikian maka beberapa indikator atas kurangnya
indpendensi juga netralitas pers telah bisa terlihat. Seperti banyaknya berita
yang menampilkan sebuah kegiatan partai politik tertentu hingga persoalan
pribadi dari personal partai tersebut. Hal ini juga akan bermuara pada
permainan pers dengan korporasi yang belakangan juga marak terjadi.Kecenderungan
ini memang bukanlah hal baru di dunia media kita. Edward C. Smith setidaknya
telah meberikat sedikit view mengeni pers di Indonesia, meskipun
kecenderungan atas informasi yang di berikannya pun tidak bia mengelak dari
subjektifitas, seperti pembahasan mengenai Muhtar Lubis yang terus mewarnai
pada setiap babnya hingga gaya penulisan yang terjebak dalam dalam primernya.
Kembali bahwa dalam banyak literatur mengenai pers. Pers banyak berjasa
dalam masa penjajahan pada saat itu, selain menyatukan animo atas nasionalisme,
pers juga berjasa membolisasi pergerakan massa. Lalu pada hari ini pers yang
tidak hanya terskat oleh media seperti koran, juga telah memberikan peranan penting
dalam mendulang pergerakan massa, bahkan di semua sisi. Media sisoal juga hari
ini telah menjadi corong atas pers itu sendiri, meski dalam sifatnya sebagai
sub-pers, namun media sosial telah di
asumsikan sebagai alat penunjang pers dominan itu sendiri - belakangan. Hingga berimbas
pada penurunan angka penjualan koran cetak seperti sedia kala. Hal ini sudah
barang tentu di topang oleh media sosial yang, hampir penduduk bumi memiliki
akses untuk menuju kesana. Dan jelas pola kebudayaan membaca kita bergeser,
dari kertas menuju digital.
pict by; Google