Aku pemuda pesisir dari kampung Sedapmata yang saat ini tak lagi sedap dilihat mata. Jangan heran jika kalian berkunjung ke kampungku, kami hanya memiliki satu musim yaitu musim mendung. Tidak akan pernah kalian temui panas terik matahari. Sepanjang hari langit gelap tertutup asap hitam mengepul.
Aku dan warga lainnya sudah kehabisan sabar. Asap PLTU itu semakin hari kian mengganggu, tak sedikit dari kami yang terkena gangguan pernapasan. Para petani harus rela pengap menutup hidungnya dengan kain. Sudah puluhan ibu mengantarkan anaknya ke dokter karena terserang ispa.
Padi-padi yang kami tanam tak sesehat dulu karena udaranya yang tercemar. Daun padi tidak bisa tumbuh dengan sehat, udara sudah tercemar debu PLTU. Tanah kami pun tak subur lagi, karena air juga sudah sedikit bahkan tercemar. Laut kami pun kena imbas dari pembuangan limbah air panas.
Nelayan tak lagi sejahtera karena kekayaan biota laut menghilang. Sebelum adanya PLTU, nelayan mudah mencari penghidupan. Tetapi hari ini, ia harus berlayar jauh dengan penuh resiko hanya untuk bisa makan satu hari. Pabrik ini jelas menganggu.
Minggu ini aku mendapat kabar yang tidak kalah menyebalkan. Satu PLTU saja sudah mengganggu, mereka justru ingin membuat satu lagi. Alasannya kebutuhan listrik sudah mendesak. Bisa dibayangkan kampungku akan menjadi seperti apa. Maka kami sepakat untuk memberikan peringatan kepada mereka untuk tidak membuat PLTU lagi.
Melawan Kerusakan dengan Kebajikan
Malam hari aku ikut kumpul dengan para orang tua dan sesepuh desa untuk membicarakan bagaimana teknis penolakaan yang akan dilakukan. Warga yang mayoritas nelayan dan petani bersemangat hadir, kerugian yang mereka sama-sama alami membuat hati tergerak. Heran hanya aku pemuda seorang diri, pemuda lain entah kemana?
Hampir semua pemuda tidak begitu peka dengan kesulitan orang tuanya, ia hanya enak sendiri minta uang kepada orang tua untuk beli barang yang sebenarnya tidak mereka butuhkan. Pemuda yang lupa bagaimana orang tuanya bisa memberikan ia makan sedari kecil. Pemuda semacam ini yang akhirnya justru dengan mudah menjual sawah orang tuanya.
Pak Bagio membuka pembicaraan, “kita semua sama-sama merasakan dampak buruk dari pabrik, maka isu akan dibangunnya pabrik kedua harus kita tolak bersama.”
“Satu pabrik saja sudah susah, kita harus memaksa mereka untuk membatalkan pembangun pabrik kedua!” sahut Pak Badi bersemangat. Aku melihat mata Pak Badi seakan berapi-api, ini sudah jelas perkara besar. Perawakannya yang besar cocok dengan jiwanya yang tidak kenal takut.
“Ini adalah sawah kita, tanah, air dan udara kita sendiri. Ini bagian rumah kita. Siapa saja yang merusak rumah seseorang, ia harus diusir keluar.” Suara Pak Jumadi dengan gaya orasinya menggema ke udara. Semua orang terbakar semangat. Menurut cerita yang kudengar, Pak Jumadi muda sering berpuisi. Kini ia sering ditunjuk sebagai juru bicara di berebagai macam acara.
Suasana teras rumah Pak Bagio menjadi memanas. Semangatku tak mau kalah, “Kita yang punya rumah lebih tahu apa yang terbaik untuk kita, mereka pendatang yang tak sopan. Seenaknya merusak rumah kita dengan dalih kesejahteraan bersama. Padahal mereka tak pernah ikut merasakan hidup dengan kita.”
Pak Bagio yang menjadi ketua pada malam hari itu semakin bersemangat juga. Tapi sebagai ketua ia harus bisa merumuskan cara yang bijak dalam aksi penolakan.
“Kenapa kita harus menjadi bijak, toh mereka saja seenaknya. Kita hancurkan saja pabrik itu!” Emosi Pak Badi sudah memuncak. Kini kumisnya semakin meruncing.
Kopi sudah dingin, ubi rebus pun hanya satu dua orang yang memakan. Permasalahan sudah sangat gawat, ini masalah kedaulatan rakyat.
“Bagaimana ini Pak Kyai?” tanya Pak Bagio.
“Manusia dipercaya oleh Allah untuk menjadi khalifah di muka bumi ini. Tugasnya antara lain adalah menjaga kelestarian bumi. Dampak dari PLTU itu sudah kita rasakan bersama, alam yang harus kita jaga sudah tercemar. Maka kita harus menjaga kelestarian alam ini dengan menolak PLTU 2 itu” Jawab Pak Kyai penuh kesungguhan.
“Tapi saya setuju dengan Pak Bagio, kita sebagai manusia beradab hendaknya menggunakan cara yang bijak. Kemungkaran tidak tepat dilawan dengan kemungkaran lainnya, itu hanya akan membuat kondisi semakin kacau.” Lanjut Pak Kyai.
Semua setuju dengan saran Pak Bagio yang dikuatkan oleh pak kyai. Jangan sampai emosi justru menggagalkan tugas mulia ini. Kemudian Pak Bagio mengatur strategi, semua sepakat. Aksi akan dilaksankan hari minggu nanti. Rapat selesai dengan keputusan menolak PLTU 2.
Dibungkam di Negeri Sendiri
Keesokan harinya persiapan semakin dimatangkan. Berbagai atribut disiapkan, mulai dari kata-kata penolakan PLTU 2 yang ditulis di atas kain seadanya, sampai bendera negara. Tidak hanya bapak-bapak saja, ibu-ibu tidak kalah semangatnya.
Semua mendapatkan tugasnya masing-masing, sesuai apa yang diarahkan oleh Pak Bagio. Aku mendapatkan tugas membuatkan kalimat yang tepat dan penuh semangat untuk penolakan PLTU 2. Sampai saat ini aku masih heran, kenapa para pemuda kampung ini kalah semangat.
Persiapan telah selesai, sisa satu hari sebelum aksi dimulai. Hari semakin larut, semua pulang dan besok akan ada do’a bersama untuk kelancaran aksi hari Minggu nanti. Malam ini aku tidur dengan perasaan yang luar biasa, mungkin ini yang dirasakan bangsa Indonesia dulu ketika hendak merebut kemerdekaan dari tangan penjajah.
Dini hari aku terbangun dari tidur, keributan terjadi di samping rumah. Terdengar suara teriakan seorang ibu dan tangisan anaknya. Aku segera keluar melihat apa yang terjadi. Keributan itu berasal dari rumah Pak Sulaiman, tetangga yang lain pun ikut keluar penasaran.
Istri dan anak Pak Sulaiman menangis melihat tulang punggung keluarganya itu ditarik paksa oleh petugas kepolisian.
“Apa salah saya pak?” kata Pak Sulaiman heran dan menolak polisi menangkapnya, ia merasa tidak pernah berbuat kesalahan negara satu pun.
“Ini surat penangkapannya, kita jelaskan saja di kantor.” Jawab salah satu aparat dengan nada emosi.
“Tidak bisa seperti itu pak, kita harus tahu dulu apa duduk perkaranya?” Tanya Pak Bagio yang entah kapan ia datang. Para tetangga yang lain semakin banyak berdatangan, aku memilih untuk mendekati Ahmad, anak Pak Sulaiman. Aku melihat ketakutan pada matanya.
“Kita jelaskan saja di kantor pak?” aparat itu tetap dengan jawaban yang sama.
Tidak ada warga yang bisa melawan aparat, salah bertindak sedikit saja akan tambah rumit suasana. Kemudian Pak Sulaiman mendekati Pak Bagio, dengan air mata ia menitipkan istri dan anak semata wayangnya.
“Kamu tidak sendiri, sampai kapan pun kita semua akan memperjuangkan keadilan. Sampai kau bebas, kita akan terus berjuang.” Jawab Pak Bagio menenangkan.
Aku mendekati Pak Sulaiman, “Aku akan jaga Ahmad sampai bapak kembali.” Kataku, ia tersenyum. Kemudian kami semua hanya bisa menyaksikan Pak Sulaiman pergi dengan mobil aparat dengan suara sirine nya yang selalu membuat takut ketika warga melihatnya.
Pak Bagio mengumpulkan warga yang lain untuk menemani ke kantor polisi.
“Hari Minggu nanti aksi tetap kita adakan, kau tambah lagi tulisan tentang pembebasan Pak Sulaiman, kau pilihlah kalimat yang tepat. Satu lagi, jaga Ahmad, perasaannya pasti sedang terguncang”. Kata Pak Bagio sebelum ia pergi
Pak Bagio dengan sebagian warga pergi ke kantor polisi. Warga yang sudah keluar rumah tidak kembali pulang, mereka mencoba untuk tetap menguatkan mental istri Pak Sulaiman. Aku tetap terfokus kepada Ahmad, “tenang mad, kita akan berjuang dengan cara apa pun sampai bapakmu kembali,” kataku dan Ahmad masih diam saja.
Kemudian esoknya baru aku tahu bahwa Pak Sulaiman dituduh memasang bendera negara secara terbalik. Padahal kemarin sore aku dan warga lainnya tahu bahwa bendera itu terpasang dengan benar di depan rumahnya. Meski ia hanya lulusan SD, ia faham betul dengan bendera negaranya, mimimal satu tahun sekali bendera itu terpasang gagah di depan rumahnya. Ini jelas kriminalisasi, aku semakin semangat untuk berjuang.
Ahmad, kita akan bebaskan ayahmu, pahlawan agraria yang dibungkam di negeri sendiri dengan tuduhan yang lucu. Cerita belum selesai. Kita akan katakan kepada dunia tentang ketidakadilan ini.